Antara Puisi ‘Di Kolong Meja’ & Puisi ‘Potong Tiga’ Karya Taufiq Ismail

SHARE

Parlemen (Cara Pandang/KAM Darwis)


CARAPANDANG.COM – Mantan Ketua DPR RI Setya Novanto sebelum mengakhiri pembacaan nota pembelaan, membacakan sebuah puisi karya Linda Djalil. Setya membacakan pleidoi setelah dituntut 16 tahun penjara oleh JPU KPK, di Pengadilan Tipikor Jakarta.

Berikut puisi yang dibacakan Setya dengan judul “Di Kolong Meja”.

di kolong meja ada debu

yang belum tersapu

karena pembantu sering pura pura tak tahu

di kolong meja ada biangnya debu

yang memang sengaja tak disapu

bersembunyi berlama-lama

karena takut dakwaan seru

melintas membebani bahu

di kolong meja tersimpan cerita

seorang anak manusia menggapai hidup

gigih dari hari ke hari

meraih ilmu dalam keterbatasan

untuk cita-cita kelak yg bukan semu

tanpa lelah dan malu

bersama debu menghirup udara kelabu

di kolong meja muncul cerita sukses anak manusia

yang semula bersahaja

akhirnya bisa diikuti siapa saja

karena cerdas caranya bekerja

di kolong meja ada lantai yang mulus tanpa cela

ada pula yang terjal bergelombang

siap menganga

menghadang segala cita-cita.

apabila ada kesalahan membahana

kolong meja siap membelah

menerkam tanpa bertanya

bahwa sesungguhnya ada berbagai sosok yang sepatutnya jadi sasaran

di kolong meja

ada pecundang

yang bersembunyi

sembari cuci tangan

cuci kaki

cuci muka

cuci warisan kesalahan

apakah mereka akan senantiasa di sana

dengan mental banci berlumur keringat ketakutan

dan sesekali terbahak melihat teman sebagai korban menjadi tontonan??

Membaca puisi “Di Kolong Meja” terbetiklah ingatan tentang puisi karya Taufiq Ismail yakni “Potong Tiga Kali” dan “Mundur Dua Kali”. Kedua puisi tersebut menyindir perilaku korupsi. Berikut puisi bertitel “Potong Tiga Kali”.

Di Cina koruptor dipotong kepala

Di Arab koruptor dipotong tangan

Di Indonesia koruptor dipotong masa tahanan

Sedangkan puisi berjudul “Mundur Dua Kali” sebagai berikut.

Di Jepang koruptor memang harus mundur

Di Indonesia, koruptor pantang mundur

Dari tiga puisi tersebut mana kiranya yang menjadi favorit Anda?