Bagaimanakah Konsep Merdeka Belajar Untuk PAUD?

SHARE

PAUD (Ditjen GTK)


CARAPANDANG.COM – Bagaimanakah menerjemahkan konsep Merdeka Belajar dalam pendidikan anak usia dini (PAUD)? Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Dirjen GTK) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Iwan Syahril memberikan penjelasan terkait hal tersebut saat memberikan sambutan pada webinar bertema “Stimulasi Fisik Motorik untuk Anak Usia Dini”. Webinar tersebut merupakan kerja sama antara Direktorat GTK PAUD dengan Astra sebagai rangkaian memperingati Hari Guru Nasional.

“Dalam konteks pendidikan anak usia dini, Merdeka Belajar itu adalah Merdeka Bermain. Karena bermain adalah belajar. Nah ini merupakan sebuah tema yang penting untuk anak usia dini yang harus terus kita kuatkan, karena kita ingin melawan miskonsepsi-miskonsepsi untuk anak usia dini,” kata Dirjen GTK Kemendikbud, Iwan Syahril, Rabu (28/10/2020).

Dalam ranah pendidikan, berbagai miskonsepi bisa terjadi. Di antaranya miskonsepsi terkait calistung untuk anak usia dini.

“Miskonsepsi yang sering kita lihat adalah bahwa pendidikan untuk anak usia dini ini terlihat hanya untuk membaca, menulis, berhitung, calistung. Padahal ini berbeda sebenarnya dengan ilmu pendidikan anak usia dini yang harus lebih menguatkan aspek yang lebih integratif dan yang lebih melakukan bermain,” terang Iwan Syahril.

Menengok filosofi Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara dapat menjadi referensi mengenai penerapan Merdeka Belajar untuk anak usia dini.

“Kalau kita lihat dari filosofi Ki Hajar Dewantara bahwa berpusat kepada anak, bagaimana anak itu menjadi hal yang terpenting dalam proses pendidikan, itu juga merupakan hal yang bisa menjadi pegangan kita,” tutur sosok yang akrab dipanggil Mas Dirjen.

“Ki Hajar kan menggunakan kata-kata taman ya, Taman Siswa, Taman Guru, karena beliau melihat proses pendidikan itu bukan hanya PAUD, tapi secara umum itu adalah sebuah tempat yang menyenangkan,” tambahnya.

Kata-kata taman terinspirasi dari pendiri taman kanak-kanak, Friedrich Froebel. “Bahwa bermain adalah belajar, itu adalah hal yang esensial di situ. Jadi tidak kaku dan lebih holistik,” jelas Iwan.

Iwan Syahril juga membedah miskonsepsi lainnya, bahwa pendidikan adalah tanggung jawab sekolah saja.

“Lalu juga miskonsepsi bahwa tanggung jawab untuk pendidikan sekolah termasuk dalam anak usia dini, biasanya diserahkan sepenuhnya kepada sekolah, padahal yang ideal sebenarnya ada sinergi antara orang tua dan komunitas dalam berkolaborasi dalam pendampingan anak,” ungkap Dirjen GTK Kemendikbud, Iwan Syahril.