Cara Pandang dan Kacamata Kuda

SHARE

Ilustrasi


CARAPANDANG.COM – Lihatlah lalu lintas media sosial sehari-hari, nyamankah Anda? Bagaimana sengkarut politik silih berganti. Bagaimana kekukuhan untuk menjagokan tokoh politik idolanya. Bagaimana nyinyirisme terhadap tokoh politik yang berseberangan. Bagaimana kerap lebih banyak “bumbu” dan persepsi yang ditambahkan mengenai suatu peristiwa politik.

Di satu sisi hal tersebut menunjukkan belum kokohnya tradisi ilmiah dan kemampuan literasi. Secara konseptual, pengertian literasi bukanlah sekadar kegiatan membaca dan menulis. Lebih dari itu, literasi dipahami sebagai kemampuan mengakses, mencerna, dan memanfaatkan informasi secara cerdas. Penumbuhan budaya baca menjadi sarana untuk mewujudkan manusia literat, dekat dengan buku, dan terbiasa menggunakan bahan bacaan dalam memecahkan beragam persoalan kehidupan.

Namun permasalahan literasi dan politik ini tak melulu soal mereka yang tidak begitu intens dengan bahan bacaan. Banyak pula mereka yang secara formal berpendidikan dan akrab dengan literasi, namun menerapkan kacamata kuda dalam memandang politik.

Ya, demokrasi memang memberikan kesempatan untuk kebisingan. Dimana orang per orang memiliki hak untuk mengungkapkan pendapatnya. Namun demokrasi yang terlampau bising juga akan kontraproduktif. Berapa banyak waktu dan tenaga yang tersedot untuk sekadar beradu debat? Alangkah baiknya jika masing-masing memperkaya cara pandang dan tidak menggunakan kacamata kuda dalam melihat suatu persoalan.

Bacalah ragam literasi dengan berbagai cara pandang. Lihatlah tayangan televisi dengan berbagai cara pandang. Dengan begitu memungkinkan pendulum moderat dan dialog dapat lebih terjadi. Bukankah tokoh politik jagoan Anda bisa salah juga? Bukankah pihak yang tidak Anda dukung bisa benar juga?

Berpeganglah pada nilai-nilai. Dengan begitu kultus individu dapat tereliminir. Dan kita pun siap untuk mengkritisi tokoh politik dari kubu sendiri. Dengan begitu demokrasi dapat lebih bermakna dan menjadi saling tukar menukar pemikiran yang konstruktif. Dan tokoh politik yang ada pun dapat hadir sebagai manusia biasa. Tidakkah tersimpan kegetiran tersendiri kala Sukarno berkata: “Aku dikutuk seperti bandit dan dipuja bagai dewa”.