Demokrasi Dan Reformasi Akankah Sejalan?

SHARE

Melihat


CARAPANDANG.COM - Demokrasi sempat dilabeli sebagai akhir dari sejarah. Sebuah narasi ideal yang dituju bagi yang belum, serta sebuah tata yang memungkinkan check and balances antara unsur-unsur kekuasaan. Tapi lihatlah kini, di sejumlah negara, demokrasi dipertanyakan, demokrasi dienyahkan. Jika Samuel Huntington dulu dengan gagahnya menunjukkan riset semakin membludaknya negara yang menganut demokrasi, maka era sekarang ini negara penganut demokrasi maupun demokrasi substansial perlu dikaji.

Pemimpin-pemimpin “bertangan besi” dengan wajah populis menjadi kejadian di beberapa negara. Fenomena post-truth juga mengukuhkan bahwa denyut demokrasi substansial sedang tidak baik-baik saja. Simaklah percakapan di ranah online, bagaimana “politik bumi hangus” dibenarkan oleh warga negara. Bagaimana rival politik bak bandit yang jahat dan pantas dihukum. Bagaimana tokoh pujaan yang selalu benar. Logika dan penjelasan dari ahli, pakar pun kadang dikesampingkan dari nalar publik. Ah iya jangan lupakan bagaimana pengamat, kalangan akademisi, pihak media, penggiat survei, bisa jadi menambah keruh sengkarut ini dengan analisa yang partisan.

Maka kata reformasi dan demokrasi bisa jadi tidak sejalan di negeri ini. Pasca tumbangnya Orde Baru yang dikenal dengan masa reformasi, segala cita-cita demokrasi, upaya mencapai demokrasi, bisa jadi mengalami arus balik. Jangan lupa Orde Baru pernah melabeli dirinya sebagai Demokrasi Pancasila. Akan tetapi lihatlah substansinya di masa Orde Baru tersebut, di mana pada berbagai segi demokrasi substansial tidak terjadi. Jangan-jangan hal tersebut terjadi lagi. Negeri ini sekadar menjalani demokrasi prosedural. Segala lembaga tinggi negara ada, pemilu ada, tapi para pelaku politik, warganya tidak menerapkan jiwa demokrasi.

Demokrasi memang tidak menjanjikan kesejahteraan. Tapi memberikan kesempatan bagi saya dan Anda untuk bicara dan berbeda. Demokrasi memang bisa menjemukan, dengan mufakat yang seakan tak temu juga, tapi bergembiralah ada perbedaan pendapat dan pemikiran. Nafas demokrasi bisa henti bukan sekadar atas restu penguasa, tapi juga dengan anggukan warga negaranya yang enggan melakoni demokrasi substansial.