Dinasti Politik Positif atau Negatif?

SHARE

Ilustrasi


CARAPANDANG.COM - Dinasti politik sendiri jika kita mengkomparasikan dengan praktik di sejumlah negara maka akan tertemui sejumlah fakta yang mencerahkan. Sementara itu respons publik Indonesia yang negatif terhadap dinasti politik tak terlepas dari ingatan tentang Orde Baru yang kaya dengan praktik nepotisme.

Publik di Indonesia juga lebih menyoroti aspek negatif politik dinasti, yakni macetnya sirkulasi kepemimpinan dan munculnya oligarki karena dominasi segelintir elite.

Dinasti politik dalam kajian ilmu politik sebenarnya bukanlah hal yang tabu. Di India, Filipina, dan Amerika Serikat, dinasti politik malah dianggap proses mentorship di mana tokoh politik akan membagi pengalaman dan “proses pembelajaran” secara langsung kepada anggota keluarganya.

Studi Dante Simbulan pada tahun 2007 memperlihatkan bahwa elite politik di Filipina tahun 1946 hingga 1963 menunjukkan bahwa dari 169 keluarga berpengaruh, lahir 584 pejabat publik, termasuk 7 presiden, 2 wakil presiden, 42 senator, dan 147 anggota DPR.

Nepotisme bukan hanya terjadi di negara berkembang tapi juga di Amerika. Di Amerika, misalnya, kemenangan Obama dikarenakan dinasti Kennedy tidak merestui dinasti Clinton. Begitu restu keluarga Kennedy diberikan ke Obama, Obama maju sebagai kandidat capres dan Hillary Clinton kalah. Sekalipun Hillary Clinton merupakan senior di Partai Demokrat, namun kuatnya pengaruh dinasti Kennedy turut memberi andil bagi kemenangan Obama.

Yang harus digarisbawahi dalam nepotisme ini adalah mutu. Jika bermutu tentu bukanlah masalah besar meskipun masih berada dalam lingkar famili. Bukankah dipilih dalam jabatan publik merupakan hak asasi manusia. Yang menjadi masalah adalah apabila yang diajukan sekadar memiliki pertalian darah, namun kualitasnya buruk.