Esensi Merdeka Belajar Yang Perlu Diraih Pelaku Pendidikan Tinggi

SHARE

Kampus Merdeka


CARAPANDANG.COM, Jakarta – Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim kembali meluncurkan kebijakan Merdeka Belajar. Diberi tajuk Kampus Merdeka, kali ini, terdapat empat penyesuaian kebijakan di lingkup pendidikan tinggi.

Pokok-pokok Kebijakan “Merdeka Belajar:Kampus Merdeka” terdiri dari Pembukaan program studi baru, Sistem akreditasi perguruan tinggi, Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum, Hak belajar tiga semester di luar program studi.

Menanggapi “Merdeka Belajar:Kampus Merdeka”, Inisiator Gerbatama: Connecting Academia, Cahyo Seftyono memandang ada 2 persoalan terkait kebijakan tersebut.

“Pertama, merdeka tapi menggantung ke label internasionalisasi. Apakah setiap yang berlabel internasional selalu lebih baik. Ini apanya yang merdeka? Kedua, soal usul kegiatan di luar kampus pengganti sks. Ini juga bukan hal baru sesungguhnya. Beberapa kampus sudah memberlakukan ini. UGM misalnya, sudah menjadikan laporan magang di institusi tertentu sebagai pengganti skripsi,” ujar Cahyo melalui pesan WhatsApp, Jumat (24/1/2020).

Cahyo menyoroti perihal Akreditasi A akan diberikan bagi prodi yang berhasil mendapatkan akreditasi internasional. Akreditasi internasional yang diakui akan ditetapkan melalui Keputusan Menteri.

“Penjelasannya begini. Dalam konteks internasionalisasi, benar bahwa kita membutuhkan jejaring berskala internasional. Tapi jangan salah, kekhasan lokalitas kita juga penting dalam konteks kekayaan sumber daya riset. Dengan demikian, apresiasi atas sumber daya yang ada itu tidak serta merta dari akreditasi internasionalnya semata, melainkan dari rekognisi peer. Tentu secara internasional, yang kita juga merupakan bagian di dalamnya, bukan berarti kita di ‘luar internasional’,” terang Cahyo.

“Dengan mendudukkan bahwa kita bagian dari internasional itu, kita juga menjadi bagian dalam pengembangan keilmuan secara global. Kita semua setara dan berhak dalam memberikan kontribusi akademik. Bahkan beberapa diaspora kita juga mendapat apresiasi tinggi di luar negeri. Artinya, menjadikan PT dan sumber daya kita internasional bukan karena posisinya dan pengakuannya dari lembaga tertentu di luar negeri, dalam hal ini pengakreditasi/pengindeks. Melainkan asosiasi-asosiasi keilmuan yang memberikan pengakuan. Tidak diakui (diakreditasi) internasional, tetapi ada begawan ilmu yang memberi garansi saya kira itu lebih bermakna,” tambahnya.

Cahyo juga menyoroti kebijakan “Merdeka Belajar:Kampus Merdeka” yang keempat yaitu memberikan hak kepada mahasiswa untuk mengambil mata kuliah di luar prodi. Adapun contoh kegiatan mahasiswa yang dapat dilakukan di luar kampus asal berupa magang/praktik kerja, proyek di desa, mengajar di sekolah, pertukaran pelajar, penelitian/riset, kegiatan wirausaha, studi/proyek independen, proyek kemanusiaan.

“Sebenarnya hal ini menarik, dan sudah diberlakukan di beberapa PT. Hanya saja, ini hanya akan efektif bagi studi soshum yang memang perlu berinteraksi langsung dengan masyarakat. Bagi prodi-prodi yang interaksinya lebih banyak dengan laboratorium, tentu aktivitas di lab menjadi lebih penting. Jika demikian, maka pemerintah harus mendukung penuh kolaborasi PT dengan institusi riset non PT, termasuk perusahaan-perusahaan. Yang dengan demikian, dorongan untuk sukses di balik tembok kelas akan lebih mudah dicapai,” ujar Cahyo yang merupakan penerima beasiswa IMPACT Doktor Kepemimpinan dan Inovasi Kebijakan-UGM.

Cahyo memberikan masukan mengenai perlunya sinkronisasi antara realitas lapangan dengan kebijakan publik yang digulirkan oleh Kemendikbud.

“Nah saya melihat ada persoalan pengetahuan dari Kemendikbud dengan apa yang sudah berjalan. Persis seperti tidak terintegrasinya realitas lapangan dengan para pembuat kebijakan. Menjadikan mereka sinkron dan selaras dalam memajukan pendidikan di dalam negeri itulah yang saya kira akan menjadi pembebas kita dari segala belenggu pendidikan. Karena kita bisa lebih mudah belajar satu sama lain, tanpa ada yang merasa lebih hebat dan otoritatif. Di situlah esensi merdeka yang lebih perlu dikejar oleh Kemendikbud secara khusus, pelaku pendidikan tinggi secara umum,” ungkap Cahyo.