Genealogi Ekonomi di Tahun Politik

SHARE

Edi Setiawan


CARAPANDANG.COM - Kita selalu terbayang akan mitos siklus krisis ekonomi setiap sepuluh tahunan. Mitos ini merujuk pada krisis yang terjadi pada 1998 dan 2008. Penyebab utama krisis 1998 adalah nilai tukar mata uang, terutama di Asia, yang tidak fleksibel, juga tidak ada sinkronisasi terhadap kurs dan capital inflow. Sedangkan penyebab krisis 2008 salah satunya akumulasi dari risiko perkembangan teknologi. Inilah genealogi yang akan menjadi resonansi bagi pelaku usaha untuk investasi.

Nyata memang siklus ini terjadi, akan tetapi setiap masa punya daya tarik yang berbeda. Tahun 2018 adalah tahun politik karena di 17 provinsi dan 153 kota/kabupaten menggelar pesta demokrasi pemilihan kepala daerah serentak. Situasi politik bakal memanas dan dikhawatirkan mengganggu pertumbuhan ekonomi. Tahun politik bakal menjadi pretensi bagi stabilisasi pertumbuhan ekonomi. Pasalnya, konsumsi khususnya non-rumah tangga diprediksi mengalami kenaikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya karena adanya pesta demokrasi.

Jika kontestasi politik tahun ini berjalan dengan baik, maka kepercayaan investor terhadap Indonesia akan semakin meningkat, kemudian arus investasi akan meningkat dengan sendirinya. Banyak pihak beranggapan, kehadiran tahun politik akan turut menggerakkan perekonomian, semisal timbulnya produksi barang untuk kegiatan kampanye. Kenaikan investasi konsumsi non-rumah tangga bisa berasal dari belanja barang seperti kaos, spanduk, stiker dari kebutuhan kampanye. Melihat di 2014, konsumsi non-rumah tangga mampu tumbuh hingga 20%.

Dana Moneter Internasional (IMF) misalnya, mematok pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2018 diprediksi akan berada di kisaran 5,3%. Sedangkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada November lalu menyebutkan pertumbuhan ekonomi kuartal III-2017 hanya mencapai 5,06%, cuma naik sedikit dibanding kuartal I dan II yang sama-sama mencapai 5,01%. Dengan kata lain, dalam kurun tiga kuartal di 2017, pertumbuhan ekonomi 2017 tidak pernah menembus angka 5,2%. Maka itu target pertumbuhan ekonomi 5,2% pada 2017 tidak akan tercapai.

Pemerintah pun menargetkan pada 2018 pertumbuhan ekonomi mencapai 5,4 persen atau meningkat 0,3 persen dari target 2017 sebesar 5,1 persen. Untuk target pertumbuhan ekonomi terlau tinggi 5,4 persen, sedangkan 2017 ini targetnya 5,1 persen. Nah, sekarang realisasi masih 5,01 persen kalau dilihat dari capaian harusnya targetnya 5,1 persen.

Pertumbuhan ini bertolak belakang dengan rasio ketimpangan sosial. Survei Ketimpangan Sosial Infid (2017) di 34 provinsi menyebutkan dari total 2,250 responden, 84% diantaranya mempersepsikan adanya ketimpangan, setidaknya pada satu ranah. Indeks ketimpangan berubah dari 4,4 menjadi 5,6. Artinya, setiap warga menilai ada 5-6 ranah yang timpang di Indonesia. Ada 10 ranah yang disebut sebagai sumber ketimpangan sosial di Indonesia, yaitu, pertama, penghasilan (71,1%), lalu pekerjaan (62,6%), rumah/tempat tinggal (61,2%), harta benda (59,4%), serta kesejahteraan keluarga (56,6%). Lima ranah lainnya adalah pendidikan (54%), lingkungan tempat tinggal (52%), terlibat dalam politik (48%), hukum (45%), serta kesehatan (42,3%).

Rasio ketimpangan ini membutuhkan stabilitas makro ekonomi yang menjadi fondasi kuat bagi pertumbuhan ekonomi di tahun politik. Stabilitas ini harus dipertahankan dan ditingkatkan agar perekonomian tetap bisa tumbuh dengan kuat. Kinerja pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi nasional dinilai baik selama tahun 2017.

Harapan muncul dengan hadirnya ekonomi digital sebagai palipur lara pertumbuhan ekonomi. Praktik e-commerce dalam bentuk iklan jual-beli, retail, hingga mal online menanjak cepat. Tahun ini, nilai transaksinya diperkirakan mengambil 3,1 persen pasar retail. Transaksi melalui teknologi finansial (fintech) menyentuh Rp 252 triliun, sebagian besar berasal dari pembayaran digital. Sedangkan e-travel, diwakili bisnis mobilitas dan perjalanan, menyumbang Rp 105,798 triliun pada tahun ini. Sektor e-commerce pertumbuhannya 60% sampai 80% per tahun. Untuk investasi ke pariwisata, pertumbuhannya 35% sampai 45% per tahun.

Pertumbuhan bisnis online begitu pesat, masyarakat Indonesia akan mendapatkan manfaat positif dalam perekonomian seperti pertumbuhan kesejahteraan, pertumbuhan lapangan kerja baru dan lain-lain. Dengan demikian Indonesia tidak lagi sekadar menjadi target pasar bisnis internasional, tetapi sebaliknya dapat menjadi pengusaha e-commerce yang mumpuni hingga menjangkau pasar luar negeri.

Tahun politik akan menjadi momentum positif bagi investor untuk menanamkan modalnya di sektor e-commerce. Sektor ini akan berkontribusi cukup besar terhadap pertumbuhan investasi nasional tahun ini. Lewat dorongan kontribusi kedua sektor itu. Tahun ini, pertumbuhan investasi di Indonesia bisa 10 hingga 14%. Angka ini tergolong rendah, karena harus menghadapi tantangan eksternal dari AS yang melakukan reformasi perpajakan lewat tax amnesty.

Tahun politik, saatnya kita menikmati berbagai kemajuan, seperti pembangunan infrastruktur. Menikmati kemajuan indikator ekonomi seperti kemudahan berusaha dan daya saing. Anggaran pilkada sendiri bisa menstimulasi pertumbuhan ekonomi. Fakta ini mempertebal keyakinan bahwa tahun politik kali ini akan memberi sinyal positif terhadap perekonomian nasional. Pemerintah menargetkan tahun ini pertumbuhan ekonomi sebesar 5,4 persen. Dari target itu, 0,2 persen di antaranya diharapkan disumbang dari aktivitas ekonomi terkait pilkada.

Bank Indonesia juga memperkirakan pilkada serentak juga berkontribusi 0,37 persen terhadap investasi, karena akan lahir kegiatan ekonomi produktif. Selain itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memprediksi pertumbuhan kredit perbankan tahun ini akan menembus dua digit, salah satu faktornya juga karena kegiatan pilkada.

Pilkada serentak 2018 berpotensi meningkatkan konsumsi dan menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi pada tahun depan. Faktor Indonesia sebagai tuan rumah Asian Games 2018 juga dapat mendorong sektor pariwisata, baik dari sisi konsumsi maupun transportasi. Pemerintah bahkan menyebutkan pilkada dan Asian Games akan memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi sekitar 0,2 s.d. 0,3 persen. (Afi).

Penulis adalah Ekonom Muhammadiyah dan Dosen FEB-UHAMKA.