Iuran BPJS Naik, Pemerintah Disebut Gagal Paham

SHARE

Menteri Keuangan, Sri Mulyani dituding gagal paham terkait iuran BPJS (istimewa)


CARAPANDANG.COM – Aliansi Lembaga Analisis Kebijakan dan Anggaran (Alaska) menilai pemerintah gagal memahami kondisi dan masalah-masalah yang terjadi dalam tata kelola BPJS. Sehingga, kenaikan BPJS kali kedua dalam tahun 2020 ini merupakan sebuah pengkhianatan pemerintah terhadap hukum dan juga masyarakat. Karena, kenaikan BPJS bukanlah sebuah solusi dari persoalan-persoalan yang terjadi dalam tata kelola keuangan BPJS, tapi sistem manajemen BPJS yang mengakibatkan kerugian begitu besar yang seharusnya mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah.

Koordinator Alazka, Adri Zulpianto mengatakan, defisit BPJS selalu terjadi dari tahun ke tahun dan mengalami peningkatan yang begitu signifikan di setiap tahunnya. Defisit BPJS tahun 2017 sebesar Rp 1,6 triliun, tahun 2018 defisit meningkat menjadi Rp 9,1 triliun, dan tahun 2019 lonjakan defisit begitu tajam menjadi Rp 15,5 triliun, meskipun demikian pembenahan dalam pengelolaan keuangan BPJS seperti terabaikan. Yang selalu diandalkan adalah menaikkan biaya iuran dari peserta BPJS.

“Yang aneh, pada tahun 2020 ketika iuran BPJS di naikkan dua kali lipat dari harga sebelumnya, meski dibatalkan oleh Mahkamah Agung, Sri Mulyani, selaku Menteri Keuangan justru selalu menyarankan ditengah usulan kenaikan iuaran tersebut untuk seluruh masyarakat yang berada di faskes kelas I dan II jika keberatan atas kenaikan tersebut untuk pindah kelas ke kelas III. Saya khawatir, Sri Mulyani tidak memahami masalah secara utuh jika mengusulkan semua orang pindah kelas ke kelas III,” kata Adri.

Selama ini dalam BPJS yang bermasalah itu ada di kelas III, kelas yang secara fakta lebih banyak di isi oleh kaum papa, mayoritas masyarakat pra sejahtera, seringkali mereka tidak mendapatkan pelayanan faskes BPJS secara optimal oleh karena beberapa kendala.

“Pertama kendala antrian harian yang terlalu banyak menumpuk di RS, sehingga pelayanan tidak dapat di rasakan oleh peserta BPJS, apalagi sakit yang tidak bisa di undur untuk datang kembali keesokan harinya. Kemudian rawat inap faskes III seringkali di bilang penuh oleh pihak RS, sehingga peserta BPJS kelas III seringkali kebingungan, dan ujung2nya malah di minta bayaran normal,” katanya.

Dari dua masalah tersebut, Adri mengatakan bisa menjadi akar masalah kenapa pada tahun 2019 lonjakan defisit begitu tajam, bisa jadi karena masyarakat jengah dengan pola tingkah laku ketidakjelasan sistem BPJS di RS.

“Ketika masalah itu menjadi fakta, bahwa pengelolaan BPJS selama ini bermasalah, lalu diusulkan kepada semua kalangan untuk pindah ke kelas III? Ini justru akan menimbulkan masalah baru,” katanya.

Dan lagi, sambung Adri, jika memang semua masyarakat di usulkan mengambil kelas yang paling murah, kenapa tidak dihapus saja kelasifikasi faskes di rumah sakit, agar semua masyarakat merasakan keadilan, dan tidak mengelompokkan masyarakat ke dalam kasta-kasta. Menurut Alaska, dengan menyamakan semua masyarakat ke dalam kelas yang sama, BPJS tidak akan lagi mengalami defisit yang sama dari tahun ke tahun.

“Jadi keliru, jika masalah kenaikan BPJS dijadikan sebagai bahan konflik yang terjebak dalam komoditi politik. Ini bukan masalah si kaya keberatan naik kelas, atau si miskin yang keberatan atas mahalnya biaya hidup bulanan, tapi kebijakan menaikkan BPJS itu memang salah total, dan sepertinya Sri Mulyani gagal memahami inti masalah dalam pengelolaan keuangan BPJS, dan Jokowi gagal memahami masalah masyakarat dalam BPJS,” tegasnya.

Selain itu, Kenaikan BPJS dituding sebagai kado Idul Fitri dari pemerintah untuk rakyat pra sejahtera, sedangkan di sisi lain, pejabat pejabat pemerintahan telah menikmati THR yang menggunakan uang rakyat.