Kebijakan Populis Premium dan Libur Idul Fitri

SHARE

Strategi (Arfianingrum Pujiastuti)


CARAPANDANG.COM – Menjelang pemilu, kebijakan pemerintah lekat dikaitkan sebagai upaya untuk merebut hati rakyat. Salahkah hal tersebut? Pihak oposisi bisa menafsirkan aneka kebijakan dari pemerintah untuk mendulang suara, meski kebijakan tersebut sesungguhnya kurang tepat.

Dalam waktu yang berdekatan, kebijakan populis ditempuh oleh pemerintah. Yakni menjaga pasokan premium dan memperpanjang libur Idul Fitri. Hal tersebut tentu “menggembirakan” bagi rakyat banyak. Premium sebelumnya sempat “menghilang” di pasaran. Polemik dan kegaduhan pun terjadi di masyarakat. Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan instruksi agar Pertamina kembali menjual Premium di Jawa, Madura, dan Bali. Itu berarti Peraturan Pemerintah Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual BBM akan diubah.

Dengan menjual Premium di luar Jawa, Madura, dan Bali seharga Rp 6.550 per liter saja Pertamina sebenarnya telah rugi. Pasalnya harga pokok per liter Premium sudah Rp 2.000 lebih mahal dari itu.

Seperti dilansir Tempo, sesungguhnya pada awal 2015 kebijakan Presiden Jokowi yakni menghentikan subsidi Premium. Alhasil beban subsidi bahan bakar minyak dalam APBN terus berkurang yakni pada tahun 2014 sebesar Rp 46,7 triliun menjadi hanya Rp 7,1 triliun pada tahun 2017.

Sementara terkait kebijakan penambahan cuti bersama Lebaran 2018 dilakukan melalui SKB 3 menteri antara MenPAN, Menaker dan Menag. Maka total cuti bersama adalah 7 hari, yakni 11,12,13,14,18,19, dan 20 Juni 2018.

Alasan penambahan cuti bersama Lebaran 2018 yakni untuk mempermudah pengaturan arus lalu lintas saat arus mudik dan arus balik. Di samping itu diharapkan masyarakat mendapatkan tambahan waktu untuk bersilaturahmi dengan keluarga.

Jika merujuk pada ungkapan Roma klasik termaktub: rawatlah kekuasaan dengan menyediakan dua hal untuk rakyat, pinem (roti) dan circences (sirkus). Istilah roti dan sirkus ditulis oleh pujangga satire Roma kuno, Juvenile. Juvenile mengungkapkan sinismenya terhadap cara politikus dan penguasa Roma merawat kekuasaannya dengan menyediakan roti dan tontonan gratis kepada rakyat. Dengan cara itulah rakyat akan kenyang dan terhibur. Jika kedua hal itu disediakan, maka rakyat akan melupakan segala hal yang menyangkut persoalan subtantif kenegaraan.

Maka ungkapan Roma klasik tentang roti dan sirkus itu bisa jadi disodorkan oleh pihak oposisi di genderang tahun politik. Dan semoga pihak pemerintah tak sekadar menyediakan ‘roti dan sirkus’, namun abai terhadap persoalan substansif yang perlu dikelola.