Mahkamah Agung Diminta Tunda Seluruh Persidangan Terkait Covid-19

SHARE

istimewa


CARAPANDANG.COM - Koalisi pemantau peradilan mendesak Mahkamah Agung, Kepolisian, Kejaksaan Agung serta Kementerian Hukum dan HAM untuk menghentikan persidangan pada masa pandemi penyakit saluran pernafasan akibat virus corona jenis baru (COVID-19).

"Kami mendesak Mahkamah Agung untuk mengeluarkan kebijakan penundaan persidangan pada semua pengadilan tingkat pertama di Indonesia dalam jangka waktu 'social distancing' yang dianjurkan pemerintah," kata Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur melalui pesan singkat di Jakarta, Senin.

Menurut Isnur, MA diharapkan untuk memiliki "sense of crisis" (rasa kepekaan terhadap situasi krisis) dengan cara mengutamakan keselamatan aparat penegak hukum dan para pihak yang berperkara.

MA, menurut Isnur, memang telah mengeluarkan Surat Edaran Sekretaris Mahkamah Agung (SE SEKMA) No. 1 Tahun 2020 berupa upaya pencegahan penyebaran COVID-19 di lingkungan Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya pada 17 Maret 2020.

"Namun, sayang sekali SE SEKMA ini tidak menunjukkan ketegasan Mahkamah Agung untuk mencegah penyebaran COVID-19. SE SEKMA ini mengatur bahwa persidangan perkara pidana, pidana militer, dan jinayat tetap dilangsungkan seperti biasa padahal persidangan yang masih berjalan seperti biasa dan menjadi tempat berkumpul banyak orang sangat berpotensi menjadi tempat penyebaran COVID-19," ungkap Isnur.

Dalam situasi ini, Mahkamah Agung tidak mempertimbangkan fakta bahwa penyebaran COVID-19 sangat cepat dan angka kematian (death toll) akibat COVID-19 di Indonesia kian hari kian meningkat.

"Selain itu, hak kesehatan orang-orang yang sedang terkurung di rumah tahanan negara (rutan) atau lembaga pemasyarakatan (lapas) juga belum dipikirkan dengan baik," tambah Isnur.

Fakta bahwa rutan dan lapas mengalami "overcrowding" dengan tingkat kelebihan kapasitas sebanyak 98 persen berdasarkan data smslap.ditjenpas.go.id per 17 Maret 2020 menunjukkan rutan dan lapas juga sangat berpotensi menjadi tempat penyebaran COVID-19 dengan cepat.

"Kementerian Hukum dan HAM melalui Kepala Rumah Tahanan Negara/Lembaga Pemasyarakatan telah menerapkan kebijakan untuk membatasi kunjungan. Namun, kebijakan ini tidak sejalan dengan perintah pengadilan yang tetap memanggil para tahanan untuk bersidang," ungkap Isnur.

Situasi "overcrowding" yang tidak memungkinkan "social distancing" (jaga jarak antar manusia) dan minimnya pemenuhan hak atas kesehatan bagi para tahanan akan membuat penyebaran COVID-19 semakin tak terbendung.

Hal tersebut akan menimbulkan risiko penyebaran COVID-19 kepada aparatur penegak hukum seperti hakim, jaksa, advokat dan lainnya yang intens berinteraksi dalam jarak dekat dan kontak fisik dengan tahanan.

"Koalisi Pemantau Peradilan melihat bahwa ketiadaan kebijakan dari Mahkamah Agung untuk melakukan penundaan sidang karena COVID-19 menyebabkan potensi penyebaran COVID-19 yang membahayakan aparatur penegak hukum dan juga para tahanan," tegas Isnur.

Selanjutnya, kebijakan terhadap tahanan juga perlu mendapat perhatian khusus dan seharusnya tidak hanya diserahkan kepada Kemenkumham tetapi wajib melibatkan institusi lainnya seperti Kepolisian, Kejaksaan dan MA.

"Penundaan sidang perlu diikuti kebijakan melepaskan sebagian tahanan yaitu mereka yang menjadi tersangka tindak pidana ringan termasuk pengguna narkotika selain itu warga binaan pemasyarakatan yang masuk kriteria untuk mendapatkan pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas dan remisi perlu diberikan tanpa permohonan yang bersangkutan dan birokrasi administrasi seperti biasa," tambah Isnur.

Hal tersebut demi menjamin keselamatan dan akhirnya hak hidup para tahanan, warga binaan pemasyarakatan, penjaga rutan, sipir lapas serta anggota keluarganya dan pada akhirnya hidup seluruh bangsa.

"Kami mendesak Mahkamah Agung untuk mengeluarkan kebijakan tentang penundaan persidangan bagi tahanan yang saat ini sedang dalam tahap pemeriksaan di pengadilan. Kami juga mendesak Mahkamah Agung perlu mempercepat pelayanan E-litigasi (administrasi perkara dan prosedur persidangan secara elektronik untuk perkara perdata, perdata agama, dan tata usaha negara) di seluruh pengadilan sebagai alternatif penyelesaian penundaan dan/atau peniadaan sidang," ungkap Isnur.

Koalisi juga meminta MA, Kementerian Hukum dan HAM, dan Kejaksaan perlu melakukan kesepakatan bersama terkait penundaan persidangan dengan implikasi jangka waktu penahanan.

Menanggapi hal tersebut, Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Abdullah, mengatakan MA tidak mungkin melakukan penundaan persidangan karena ada masa tahanan yang terbatas.

"Konsekuensinya bagaimana dengan sidang perkara pidana? Masa penahanan terbatas. Ketika dinyatakan kerja di rumah, hitungan masa penahanan berjalan terus, jika ada dalam masa kerja di rumah masa penahanan habis, akibatnya terdakwa keluar tahanan demi hukum, penuntut umum pasti dirugikan jika dibantarkan siapa yang menanggung risiko," kata Abdullah.

Pembantaran tahanan adalah pembantaran penangguhan masa penahanan oleh majelis hakim karena tahanan sakit sehingga masa penahanan yang tidak dihitung selama dirawat di rumah sakit.

"Status dibantarkan, maka selama masa pembantaran tidak dihitung sebagai masa penahanan. Apakah masa penahanan di lembaga pemasyarakatan boleh tidak dihitung? Sedangkan secara nyata terdakwa menjalaninya. Bagaimana menghitung waktu upaya hukum, banding, kasasi dan PK (Peninjauan Kembali) yang waktunya terbatas 14 hari? Tentunya masalah baru lagi," tambah Abdullah.

Sedangkan bila membolehkan perkara perdata, agama dan tata usaha negara diadili dari rumah maka menurut Abdullah akan terjadi ketidakadilan internal untuk perkara pidana, pidana militer dan jinayat.

"Jika kebijakan ini dilakukan muncul ketidakadilan secara internal. Percayalah pimpinan sudah memikirkan dan terus monitor dan evaluasi," kata Abdullah berkilah.