Omnibus Law Cipta Kerja Harus Bisa Cegah Konversi Lahan Pertanian

SHARE

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta. (istimewa)


CARAPANDANG.COM - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta mengatakan, Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja diharapkan bisa mencegah terjadinya alih fungsi lahan atau konversi lahan pertanian.

Felippa dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa, menilai dalah satu tantangan terbesar pertanian Indonesia selama ini adalah alih fungsi lahan menjadi area urban atau yang beralih ke sektor manufaktur.

"Alih fungsi lahan ini bisa semakin memburuk karena RUU Cipta Kerja mempermudah pengalihfungsian lahan untuk kepentingan umum dan/atau proyek strategis nasional," katanya.

Jika sebelumnya Undang Undang Nomor 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan mewajibkan syarat-syarat melalui kajian strategis, penyusunan rencana alih fungsi lahan dan pembebasan kepemilikan hak dari pemilik dengan cara ganti rugi, dan penyediaan lahan pengganti terhadap lahan budidaya pertanian, di RUU Cipta Kerja syarat-syarat tersebut dihapus.

"Selain itu, lahan dengan fungsi jaringan pengairan lengkap yang dulu dikecualikan dari kemungkinan pengalihfungsian lahan, kini dibolehkan untuk dialihfungsikan, dengan syarat wajib menjaga fungsi jaringan pengairan lengkap," urainya.

Hal ini, lanjut Felippa, tidak sejalan dengan keinginan pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan sektor pertanian.

"Jika pemerintah mau terus mendorong pertumbuhan sektor pertanian seperti yang terlihat dari dimudahkannya investasi dan izin usaha pertanian, maka pemerintah juga patutnya memperhatikan isu konversi lahan ini," imbuhnya.

Lahan pertanian dinilai harus terus dimasukkan dalam prioritas pembangunan untuk memastikan konsistensi dan peningkatan produksi pangan.

Lebih lanjut, di balik kemudahan investasi dan usaha, RUU Cipta Kerja juga membawa risiko terhadap keberlanjutan lingkungan.

Undang Undang Nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan menetapkan syarat-syarat lingkungan, seperti analisa dampak lingkungan, kesesuaian tata ruang wilayah dan kesesuaian rencana perkebunan untuk mendapatkan izin usaha perkebunan (Pasal 45).

Syarat ini diteruskan di Pasal 67 yang menetapkan bahwa Pelaku Usaha Perkebunan harus melakukan analisis dampak lingkungan hidup, upaya pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup, serta penyediaan sarana, prasarana, dan sistem tanggap darurat untuk menanggulangi kebakaran.

"Di RUU Cipta Kerja, pasal-pasal ini dihapus. Revisi Pasal 67 tetap berbunyi bahwa setiap pelaku usaha perkebunan wajib memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup," katanya.

Namun hal ini, jelas Felippa, perlu terus dipantau pembahasannya terlebih kalau RUU Cipta Kerja disahkan oleh DPR. Ia menegaskan keberlanjutan lingkungan di sektor agrikultur merupakan hal yang esensial.