Pemerintah Harus Bertanggungjawab Atas Meninggalkannya Seorang Anak Karena Banjir

SHARE

Presiden LSM ALIM, Kherjuli


CARAPANDANG.COM - Peristiwa yang sangat menyayat hati, dimana seorang ibu yang berstatus janda harus merelakan anaknya meninggal karena terbawa arus luapan air di Jalan Gatot Subroto, simpang Anggrek Merah, Tanjunpinang, Jumat (18/1/2019). Hal ini memberikan catatan hitam kepada Pemerintah yang dinilai lalai menyikapi adaptasi dan mitigasi bencana akibat perubahan iklim.

Hal itu dikatakan oleh Presiden Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Air, Lingkungan dan Manusia (ALIM), Kherjuli saat diwawancarai, Jumat (18/1/2019). Kherjuli mengaku turut berbelasungkawa atas meninggalnya AP, seorang pelajar berumur 9 tahun yang harus meregang nyawa karena terbawa arus luapan air bersama saudara dan ibu kandungnya dini hari tadi.

Hal ini, memang harus menjadi perhatian semua pihak, khususnya pemerintah sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas kejadian yang menimpaku keluarga Lilis Suryani (ibu AP).

"Sudah tahu cuaca ekstrem akibat perubahan iklim, sudah tahu ada beberapa titik-titik yang rentan dan menyebabkan terjadinya daya rusak air, seperti banjir/genangan air dan potensi aliran air saat hujan deras yang dapat menyeret, menghantam hingga menghilangkan nyawa anak-anak, tapi tidak diantisipasi secara cepat," katanya.

"Kemarin satu tragedi terseretnya anak-anak di jalan Kuantan. Hari ini, terjadi lagi. Penyebabnya miris, sama," tambahnya.

Kherjuli mengatakan, Badan Penggulangan Bencana Daerah (BPBD) sepertinya buta, tak mampu melihat potensi bencana akibat cuaca ekstrim. Perubahan iklim yang terjadi tidak disikapi sesuai tanggung jawab yang mereka emban, kata Kherjuli.

"Kemarin, saya sudah diskusi dengan Babinkamtibmas Bukit Cermin soal bencana. Karena Polsek Tanjungpinang Barat baru saja melakukan sosialisasi bencana akibat cuaca ekstrim di Teluk Keriting. Rencananya, hari ini kami baru mau ke kantor BPBD kota maupun Provinsi, untuk melihat peta potensi bencana di kota Tanjungpinang terkait perubahan iklim. Informasi yang saya terima, peta kerawanan yang mereka miliki, sudah tidak relevan lagi dengan kondisi saat ini. Peta potensi bencananya belum diperbahrui. Kami ingin memastikan kebenarannya," Cerita Presiden Air ini.

"Fokus diskusi kami kemarin, terkait bencana banjir, tanah longsor dan kebakaran," tambahnya.

Diskusi yang dilakukan tersebut ternyata belum sempat diantisipasi. Pagi ini, Kherjuli dikejutkan dengan tragedi meninggalnya seorang anak di jalan Anggrek Merah akibat terseret aliran air karena banjir.

"Sungguh bikin hati saya sedih dan pilu," katanya.

Tidak saja BPBD, tapi juga organisasi perangkat Pemerintah lainnya yang terkait dengan Adaptasi dan Mitigasi Bencana akibat cuaca ekstrim dan Perubahan Iklim, harus ikut bertanggung jawab, sambungnya.

Genangan dan aliran air yang memiliki daya menyeret dan menghantam itu, memang tidak terlalu berbahaya bagi orang dewasa. Tapi berbahaya bagi anak-anak. Tragedi demi tragedi telah berulang kali terjadi. Tapi belum terlihat adanya upaya kongkrit yang menyeluruh dari Pemerintah untuk meminimalisir atau meniadakan dampaknya.

Kalau ditanya, kata Kherjuli, kerap jawabannya keterbatasan anggaran, lahan dan batasan kewenangan. Tapi faktanya, dana Pemprov Kepri yang lebih setengah triliun malah digunakan untuk membangun jalan lingkar Gurindam 12 yang tidak memiliki relevansi terhadap Adaptasi dan Mitigasi Bencana akibat cuaca ekstrim dan perubahan iklim.

"Pertanyaannya, apakah kami masyarakat ini yang membayar pajak harus mengadu ke negara tetangga? Masyarakat belum begitu cerdas menyikapi perubahan iklim. Tanggung jawab Pemerintah lah untuk mencerdaskannya sebagai bagian dari mencerdaskan kehidupan bangsa," katanya.

Masyarakat juga memiliki tanggung jawab terhadap Adaptasi dan Mitigasi Bencana akibat perubahan iklim, tapi tanggung jawab Pemerintah jauh lebih besar.

Karena sesuai amanat Konstitusi, setiap warga negara berhak mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat, fasilitas publik yang aman dan nyaman, informasi potensi bencana, cuaca ekstrim, perubahan iklim, dan semua upaya untuk mencerdaskan dan melindungi segenap kehidupan warga negaranya.

"Tragedi yang baru saja terjadi ini, berbeda dengan bencana alam Gempa Bumi, Tsunami, Banjir Rob atau Gunung meletus. Seharusnya, Pemerintah lebih cepat, sigap dan tanggap mencegahnya. Karena telah tau penyebabnya, tau cara mengantisipasinya, beda sama gempa dan tsunami yang tidak tahu kapan akan datang," katanya.

Kherjuli mengatakan, Pemerintah memiliki kewenangan dan kemampuan yang besar untuk mewujudkan itu. Namun, hal itu tergerus oleh kepentingan lain ang bersifat ingin menonjolkan diri dihadapan masyarakat. Setiap kepala daerah terus berencanaembangun Ikon ketika mereka duduk sebagai pimpinan daerah.

"Tapi hal kecil seperti ini malah tidak terlihat. Sudah ada korban baru mereka sibuk unjuk kebolehan untuk menutupi dosa mereka," katanya.

Kherjuli menegaskan, kejadian yang merenggut nyawa seperti sekarang ini tidak lagi terjadi di bulan atau tahun berikutnya. Untuk itu, Pemerintah diharapkan belajar dari pengalaman, bukan malah membiarkan kejadian.

"Parahnya jika mereka menganggap ini kejadian biasa atau keteledoran masyarakat. Ini pemerintah yang sangat parah," tutur Kherjuli.