Pemerintah Perlu Perbaiki Tingkat Konsumsi Masyarakat

SHARE

istimewa


CARAPANDANG.COM - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan mengatakan pemerintah perlu fokus untuk memperbaiki tingkat konsumsi masyarakat sebagai salah satu upaya untuk memulihkan perekonomian nasional.

Guna memulihkan ekonomi nasional yang terkena dampak pandemi, perbaikan dari segi konsumsi menjadi perhatian utama pemerintah untuk segera dicarikan jalan keluarnya.

Dalam diskusi virtual di Jakarta, Kamis, menurutnya konsumsi memainkan peranan penting dalam perekonomian. Dengan adanya konsumsi yang meningkat maka akan mendorong terjadinya produksi dan distribusi di ragam sektor sehingga berdampak menggerakkan roda-roda perekonomian. Sebaliknya, jika konsumsi lesu, maka baik produksi maupun distribusi barang/jasa pun akan terimbas.

Selain itu, berdasarkan kelompok pengeluaran, konsumsi rumah tangga pasalnya masih menjadi penopang pertumbuhan ekonomi. Untuk kuartal pertama tahun ini, data dari BPS mencatatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 2,97 persen perbandingan tahun ke tahun dengan kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap pertumbuhan ekonomi sebesar 1,56 persen. Angka ini turun tajam jika dibandingkan dengan kondisi di kuartal pertama tahun 2019 silam yang mencapai 5,02 persen perbandingan tahunan.

Skenario kebijakan new normal tampak menjadi strategi utama pemerintah untuk menggeliatkan kembali kegiatan ekonomi. Hal ini karena dengan adanya pemberlakuan penyesuaian terhadap kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dapat mulai mendorong aktivitas ekonomi dan sosial secara perlahan, diiringi dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat.

Pingkan menjelaskan melemahnya konsumsi masyarakat dapat terlihat dari rendahnya inflasi. Dari sudut pandang perekonomian, pandemi COVID-19 dan momentum harga minyak dunia yang anjlok mengubah pola inflasi selama bulan Ramadhan hingga memasuki Lebaran tahun ini. Berdasarkan data BPS, inflasi bulan Mei 2020 merupakan inflasi terendah sejak 1978 jika dibandingkan dengan bulan-bulan Ramadhan dan Lebaran di tahun-tahun sebelumnya.

Padahal dalam kondisi normal, inflasi cenderung tinggi setiap kali menjelang Lebaran karena adanya peningkatan permintaan dan produksi di hampir semua sektor, terutama makanan dan minuman, pakaian dan alas kaki, serta transportasi. Namun, yang terjadi tahun ini berbeda. Dari 90 kota yang dipantau BPS, sebanyak 67 kota mengalami inflasi dan 23 kota mengalami deflasi.

Pemberlakuan skenario new normal ditanggapi pasar secara positif. Hal ini terlihat dari Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang kian menguat dua minggu terakhir. Pada perdagangan bursa per tanggal 3 Juni 2020 investor asing kembali mencatatkan aksi beli bersih sebanyak Rp 69 miliar di pasar reguler.

Sedangkan pada perdagangan 2 Juni 2020, IHSG ditutup menguat 1,98 persen atau 93,89 poin ke level 4.847,5. Penutupan IHSG pada perdagangan hari ini yang tercatat mencapai Rp 871,71 miliar. Adapun volume transaksinya mencapai 9,79 miliar saham dengan nilai transaksi Rp 11,99 triliun.

Seiring dengan IHSG, nilai rupiah pada kurs tengah BI (kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/JISDOR) berada di level Rp 14.245. Ini menandakan rupiah menguat sebesar 1,77 persen dibandingkan angka kemarin. Tercatat, angka ini juga merupakan posisi terbaik rupiah sejak 5 Maret 2020. Pasalnya, sepanjang bulan Maret yang lalu rupiah mengalami pelemahan tajam sebesar -14,31 persen terhadap dolar AS. Hal ini menunjukkan adanya technical rebound.