RUU Cipta Kerja Diharapkan Kurangi Kompleksitas Masalah Ketenagakerjaan

SHARE

Ilustrasi : Aksi mahasiswa menolak RUU Cipta Kerja (istimewa)


CARAPANDANG.COM – Pemerintah mengharapkan RUU Cipta Kerja dapat mengurangi kompleksitas masalah ketenagakerjaan di Tanah Air. Itu meliputi daya saing rendah, meningkatkan angkatan kerja yang membutuhkan lapangan kerja baru, hingga obesitas dalam regulasi.

Sekretaris Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat, menjelaskan jika sudah disahkan, UU Cipta Kerja diharapkan memberikan kepastian dan kecepatan perizinan investasi serta adanya kepastian hukum.

Pemerintah menargetkan keberadaan RUU Cipta Kerja bisa menjadi jalan bagi perbaikan drastis struktur ekonomi nasional di tengah pandemi COVID-19 sehingga bisa meraup angka pertumbuhan ekonomi di kisaran 5,7 persen hingga 6 persen.

Caranya, lanjut dia, menciptakan lapangan kerja sebanyak 2,7 juta hingga 3 juta per tahun atau meningkat dari saat ini dua juta per tahun.

Penciptaan lapangan kerja itu diharapkan menampung 9,29 juta orang yang tidak atau belum bekerja, yang terdiri dari 7,05 juta pengangguran dan 2,24 juta angkatan kerja baru.

Selain itu peningkatan kompetensi pencari kerja dan kesejahteraan pekerja serta peningkatan produktivitas pekerja yang berpengaruh pada peningkatan investasi dan pertumbuhan ekonomi, karena produktivitas Indonesia mencapai 74,4 persen, berada di bawah rata-rata negara ASEAN 78,2 persen.

Langkah selanjutnya, kata dia, yakni peningkatan investasi sebesar 6,6 sampai 7 persen untuk membangun usaha baru atau mengembangkan usaha yang akan menciptakan lapangan kerja baru dan meningkatkan kesejahteraan pekerja.

Selain itu, katanya, juga ada pemberdayaan UMKM dan koperasi yang mendukung peningkatan kontribusi UMKM terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) menjadi 65 persen dan peningkatan kontribusi koperasi terhadap PDB menjadi 5,5 persen.

Tanpa pembenahan mendasar struktur ekonomi nasional yang dilakukan melalui RUU Cipta Kerja, lanjut dia, ada sejumlah risiko yang mengancam ekonomi Indonesia di masa mendatang.

Risiko itu di antaranya lapangan kerja akan pindah ke negara lain yang lebih kompetitif dan  daya atau saing pencari kerja relatif rendah dibanding negara lain. Kemudian, penduduk yang tidak atau belum bekerja akan semakin tinggi dan Indonesia terjebak dalam negara berpendapatan menengah.

Kemenko Perekonomian menyebutkan biaya investasi di Indonesia terbilang mahal dan kurang kompetitif berdasarkan Incremental Capital Output Ratio (ICOR) yakni perbandingan atau rasio antara tambahan investasi yang dibutuhkan untuk menghasikan setiap satu unit hasil.

ICOR Indonesia pada 2019 sebesar 6,77 persen, lebih buruk dari 2018 pada posisi 6,44 persen, tapi di Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam punya ICOR di posisi ideal yakni tiga persen.

Selain itu, lanjut dia, regulasi Indonesia juga terbilang rumit sehingga menjadi penghambat investasi khususnya padat karya salah satunya karena besarnya standar upah minimum Indonesia dan mahalnya biaya pesangon jika terjadi pemutusan hubungan kerja.

Secara rata-rata, upah minimum di Indonesia kisaran 170 dolar AS, lebih mahal dari Vietnam kisaran 150 dolar AS per bulan, di India dan Bangladesh, masing-masing kisaran 100 dolar AS per bulan.