Soal Pembebasan 30.000 Napi, Pakar: Ke Depan Akan Jadi PR Tersendiri Bagi Kemenkumham

SHARE

Ilustrasi


CARAPANDANG.COM - Narapidana (napi) yang dibebaskan melalui usulan asimilasi dan hak integrasi terkait dengan pencegahan dan penanggulangan penyebaran Covid-19 tidak bisa dibebaskan begitu saja. Perlu ada mekanisme yang tepat dalam pengawasannya.

Hal ini disampaikan oleh pakar hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Prof Hibnu Nugroho di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Senin (6/4).

Menurutnya apalagi jumlahnya sangat banyak, yakni 30.000 napi.  "Ini sudah lebih dari 30.000 orang lho. Saya tidak tahu SOP (Standar Operasional Prosedur) yang betul, yang mana, karena ini suatu kondisi yang kondisional sehingga sekarang ini masing-masing kanwil (Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM, Red.), masing-masing lembaga pemasyarakatan yang membebaskan napi punya tanggung jawab penuh untuk melakukan pengawasan dan penilaian dari asimilasi yang bersangkutan," jelasnya menambahkan.

Dalam hal ini, kata dia, ada suatu penilaian atau kontrol yang ketat sehingga tidak sekadar membebaskan napi melalui usulan asimilasi dan hak integrasi tersebut. Menurut dia, kontrol yang ketat itu dilakukan oleh lembaga yang membebaskan, misalnya Lapas Purwokerto membebaskan 30 napi sehingga ke-30 napi tersebut harus dipantau terus.

Selain itu, lanjut dia, hakim pengawas dan pengamat (wasmat) juga punya tanggung jawab penuh dalam pembebasan napi tersebut. "Hakim wasmat karena namanya seorang hakim itu sebetulnya tidak hanya memutus lamanya waktu satu tahun, dua tahun, tiga tahun, tapi adalah bagaimana orang tersebut begitu diputus itu bisa kembali ke masyarakat, filosofinya begitu. Mengapa hakim itu bisa memutus lebih dari tuntutannya, misalnya tuntutan tiga tahun, divonis lima tahun, karena hakim melihat orang ini ternyata enggak bisa kalau cuma dibina tiga tahun, harusnya lima tahun, ini yang harus dipahami oleh semua penegak hukum yang ada," paparnya.

Ia mengatakan pembebasan napi tersebut menjadi pekerjaan rumah (PR) tersendiri bagi penegak hukum khususnya Kemenkumham, agar jangan sampai pembebasan tersebut menjadi masalah tersendiri dalam masyarakat karena tidak semua napi yang dibebaskan berasal dari daerah di sekitar lembaga pemasyarakatan itu berada.

"Tidak semudah itu, ada tanggung jawab negara. Dalam hal ini adalah umum atau lembaga pemasyarakatan untuk bisa memantau, bisa menilai, dan sebagainya sehingga napi yang dibebaskan melalui usulan asimilasi tersebut betul-betul bisa diterima masyarakat dan betul-betul sadar, tidak mengulangi lagi kejahatan yang pernah dilakukan," katanya.