Spiral Kekerasan dan Urgensi Membudayakan Literasi

SHARE

carapandang.com


Dunia pendidikan menghadapi tantangan serius, kaitannya dengan “budaya” kekerasan yang menggejala di tengah kelomppok milenial. Lemahnya literasi ditengarai menjadi salah satu penyebab mereka terjebak dalam spiral anarki. 

Kekerasan dan anarkisme menjadi menu yang tersaji di atas meja bernama Indonesia saat ini. Selama dua dekade berselang, hampir setiap hari, fakta-fakta yang menampilkan fanatisme kelompok senantiasa berujung pada ketegangan fisik. Pelbagai konflik identitas yang dibumbui isu agama serta politik kedaerahan yang terjadi di banyak tempat selama pasca Reformasi (1998) adalah fakta yang tak terbantahkan dari menggeliatnya spiral kekerasan yang terjadi di tanah air.   

Tak hanya ketegangan fisik di dunia nyata, narasi kebencian berbasiskan SARA juga merebak di dunia maya sebagai akibat dari lunturnya kualitas berfikir masyarakat yang tak lagi moderat. Walhasil, sektor pendidikan memiliki pekerjaan berat, terutama dalam rangka mencapai tujuan mulia menyelematkan generasi milenial yang terlahir di tengah hiruk-pikuk kebobrokan perilaku sosial kekinian.

Keterlibatan peserta didik Sekolah Tinggi Menengah (STM) dalam aksi-aksi demonstrasi belakangan ini kiranya dapat kita baca melalui dua sisi. Sisi pertama, keikutsertaan anak-anak STM dalam demonstrasi menunjukkan sikap peduli atas problem kebangsaan. Hal itu dapat kita lihat sebagai wujud kritisisme melawan arogansi pemerintah -dalam hal ini ditujukan kepada anggota DPR. Akan tetapi, pada sisi yang kedua, yang tetap harus mendapat perhatian serius, adalah cara penyampaiannya yang tampak mengedepankan aksi kekerasan daripada dialog yang substantif.

Gambaran berbeda tampak pada kelompok mahasiswa yang membangun kekuatan argumentasi dengan menanggalkan cara-cara anarki. Mereka mengedepankan dialog, mengerti substansi, memperjuangkan idealisme dan tetap menjaga keunggulan intelektualitas meski harus berhadapan dengan brutalitas aparat.

Atas kepentingan itu semua, peradaban negeri ini harus dibangun dengan pondasi literasi yang kuat pada diri kelompok milenial. Pemerintah, terutama melalui sektor pendidikan, penting menyelamatkan mereka agar tidak terjebak pada “budaya” kekerasan yang telah akut ini. Ditambah dengan gempuran arus informasi yang menyesatkan, maka spiral kebencian dan kekerasan itu akan cepat merembet dan menciptakan kehancuran.

Kelompok milenial adalah pemimpin masa depan. Sebab itu, sektor pendidikan harus memaksimalkan peran mereka, memberikan ruang-ruang aktualisasi yang substanstif bagi mereka sehingga terlahir sumber daya manusia yang berkualitas yang akan berkontribusi pada pemajuan bangsa, terutama pada sektor-sektor vital seperti ekonomi, politik, budaya, dan keamanan.

Lembaga pendidikan harus berperan sebagai kawah candradimuka, tempat pengglembengan untuk melahirkan para ksatria/peserta didik, baik pada pembangunan aspek moral, karakter dan pemikiran kritis.  

Stakeholder pendidikan perlu bekerja keras dalam memberikan pengajaran yang terbaik bagi mereka, sehingga generasi milenial ini tak lagi disemati jargon sebagai “generasi stroberi” sebagaimana yang dikatakan Rhenald Kasali (2018), yaitu buah yang indah dipandang mata tapi mudah membusuk. Mereka ini adalah generasi yang kreatif dan sadar teknologi informasi, jangan biarkan mereka terjebak pada lingkaran kekerasan yang marak terjadi belakangan ini.

Nafik Muthohirin

Dosen Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Malang | Inisiator Youth Leaders Peace Camp