Kejahatan Kehutanan Di Sulsel Meningkat Selama Pandemi

SHARE

Kejahatan Kehutanan Di Sulsel Meningkat Selama Pandemi


CARAPANDANG.COM - Kejahatan kehutanan, khususnya pembalakan liar (illegal logging), di Sulawesi Selatan meningkat pada masa pandemi COVID-19 dengan pola memanfaatkan masyarakat lokal sekitar hutan untuk melakukan pembalakan.

"Sementara penegakan hukum umumnya sampai pada pelaku lapangan dan jarang menyentuh pedagang kayu maupun aktor di belakang layar," kata Direktur Eksekutif Jurnal Celebes Mustam Arif pada jumpa media di Kafe Baca, Makassar, Sabtu.

Dia mengatakan dari sembilan kasus penangkapan kayu ilegal yang dicatat Jurnal Celebes selama pandemi, hampir semua pelaku yang diproses hukum, adalah warga masyarakat yang ditangkap karena menebang atau mengangkut kayu. Umumnya mereka diminta atau bekerja sama dengan pembeli atau pengusaha kayu.

Sedangkan pihak yang menggunakan jasa warga, hampir semuanya lolos dari jerat proses hukum. Kecuali, kasus perusakan hutan di kawasan konservasi Komara, Takalar.

Setelah seorang warga diproses hukum sampai vonis pengadilan sebagai pelaku, pihak kepolisian mengembangkan kasus ini. Akhirnya menetapkan tersangka dan menahan seorang tokoh masyarakat yang juga Wakil Ketua DPRD Kabupaten Takalar.

Menurut dia, pebisnis atau penjual kayu tampaknya memanfaatkan kesempatan di masa pandemi. Ketika aktivitas masyarakat dibatasi Pembatasan Sosial Berskala Besar (SBB), atau dalam skala terbatas, momentum ini dimanfaatkan untuk melakukan pembalakan di hutan, karena situasi relatif aman.

"Kesempatan di masa pandemi bukan hanya dilakukan para pedagang kayu. Masyarakat lokal sekitar hutan yang pendapatannya berkurang akibat dampak pandemi, juga terpicu memanfaatkan situasi ini," ujar Mustam.

Akibatnya pada masa pandemi, lanjut dia, baik pihak pengusaha/pedagang maupun masyarakat yang sama-sama terdesak kebutuhan, bersimbiosis mutualisme melakukan pembalakan liar. Sama-sama memanfaatkan situasi, ketika intensitas pengawasan hutan menurun karena berlakunya PSBB Covid-19.

Dari hasil pemantauan para pemantau independen dampingan JURnaL Celebes di beberapa kabupaten, ditemukan indikasi kejahatan pembalakan liar dilakukan dengan melibatkan atau 'bekerja sama'' dengan masyarakat lokal di sekitar kawasan hutan.

Dalam hal ini, pengusaha atau pengepul kayu memanfaatkan orang-orang lokal untuk melakukan penebangan.

Batang kayu yang ditebang dikumpulkan di tempat tertentu. Setelah kayu terkumpul, lalu diangkut truk dibawa ke tempat pengumpulan setelah dari hutan, atau langsung ke industri pengolahan kayu, atau tempat penggergajian.

Dari hasil pemantauan kegiatan yang didukung FAO-FLEGT Programme ini, ada indikasi masyarakat lokal yang terlibat dalam jual beli kayu, punya risiko hukum, dibanding pengusaha atau pembeli kayu yang memanfaatkan jasa masyarakat lokal.

Ketika pelaku lapangan diketahui petugas, yang ditangkap dan diproses hukum adalah pelaku warga masyarakat. Masyarakat yang menebang kayu, kalau tidak sempat melarikan diri, akan ditangkap petugas. Diproses hukum sampai ke pengadilan.

Sementara pihak pengusaha atau pendagang kayu yang memanfaatkan jasa masyarakat untuk menebang kayu, jarang tersentuh hukum. Padahal mereka sebenarnya adalah pemilik kayu ilegal.

Pemantau menduga, di antara pihak pembeli maupun penebang ada kesepakatan untuk tutup mulut dengan, kompensasi tertentu. Dugaan lain, penebang kayu dari masyarakat setelah ditangkap petugas, tidak bisa mengungkap siapa yang mengajak kerja sama melakukan pembalakan liar karena sudah hilang jejak.

Pemantau juga menduga pelaku kejahatan dari pihak pembeli/pengusaha kayu dengan cara ilegal, menggunakan pola ‘’rantai putus’’ untuk menghilangkan jejak. Hasil pantauan ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi penegak hukum, agar pelaku utama pembalakan liar dapat diproses secara hukum.

Â