Atasi Kelangkaan dan Mahalnya Minyak Goreng Harus Terukur, Adil dan Tegas

SHARE

Istimewa


CARAPANDANG - Oleh : Andi Rante,  Ketua PB HMI Bidang Ekonomi Pembangunan

Langkah pemerintah melalui kebijakannya dalam mengatasi kelangkaan minyak goreng di pasaran selalu tidak dalam kajian dan hitung hitungan yang matang.

Kelangkaan dan kenaikan sembako di  negeri ini bagai sebuah tradisi musiman yang selalu mewarnai. Sebelum minyak goreng ini langka, Pemerintah telah mencanangkan sebuah program untuk mengurangi penggunaan fosil dalam produksi BBM sehingga dipilihlah kelapa sawit sebagai salah satu bahan bakunya. Project tersebut adalah B30 dan mungkin terus akan dikembangkan hingga B100.

B30 adalah pencampuran antara bahan bakar diesel atau solar dengan FAME (Fatty Acid Methyl Ester). Komposisinya yaitu 70% solar dan 30% FAME. FAME ini didapatkan dari kelapa sawit.  Kelapa sawit diolah menjadi FAME, yaitu bahan bakar nabati.

Project ini memang mampu menaikkan nilai jual kelapa sawit tetapi di sisi lain pemerintah lupa bahwa minyak kelapa sawit adalah salah satu kebutuhan pokok masyarakat  berupa minyak goreng. Pengadaan Project B30 itu seharusnya dikalkulasi sedemikian rupa dengan tetap menjamin ketersediaan pasokan minyak goreng tidak terganggu.

Musim kenaikan harga sembako menjadi tradisi, naiknya harga sembako karena suply and demand. Kebutuhan akan sembako yang salah satunya adalah minyak goreng pasti akan meningkat tajam. Hitungan ini yang mungkin tidak terkalkulasi baik oleh Pemerintah sebelum membuat program atau kebijakan.

Sembako di pasaran telah memasuki musimnya, khususnya minyak goreng sudah beberapa bulan menjadi kebutuhan paling dicari oleh masyarakat. Selain harganya mahal juga stok dipasar menjadi langka. Dalam posisi ini masyarakatlah yang menjadi korban.

Untuk mengatasi ini , pemerintah mengeluarkan kebijakan dengan melakukan intervensi pasar melalui Permendag No 6/2022 dimana penerapan Permendag ini menaikkan HET seperti minyak goreng curah dari Rp 11.000/liter menjadi Rp 11.500/liter. Kemudian terakhir pemerintah akan memberikan subsidi untuk minyak goreng di pasaran sehingga harga menjadi  Rp 14.000/liter. Dan untuk minyak goreng kemasan akan menyesuaikan dengan nilai keekonomiannya.

Dalam kondisi harga yang fluktuatif misalnya minyak goreng, walaupun telah turun tapi masih jauh dari HET yang ditetapkan oleh Pemerintah. Sudah hampir 3 bulan harga saat ini di lapangan kisaran antara Rp 18.000/liter – Rp 20.000/Liter dari HET yang ditetapkan oleh Pemerintah sebesar Rp 11.500/Liter untuk minyak goreng curah, minyak goreng kemasan sederhana Rp 13.500/liter, minyak goreng kemasan premium Rp 14.000/liter sesuai Permendag No 06 Tahun 2022 Tentang Harga Eceran Tertinggi Untuk Minyak Sawit.

Menurut keterangan produsen, mereka menaikkan harga akibat penyesuaian harga CPO di pasar dunia yang juga mengalami kenaikan. Untuk mengatasi hal ini Pemerintah menggelontorkan kas negara sebesar Rp 3,6 T untuk subsidi harga minyak goreng melalui dana Badan Pengelola Dana Perkebunan kelapa Sawit (BPDPKS) dibawah dirjen perbendaharaan Kemenkeu RI.

Melalui Kemendag, dana tersebut untuk  penyediaan 1,2 Milyar Liter minyak subsidi dengan harga Rp 14.000/Liter berlaku 6 bulan kedepan dan akan diperpanjang jika kondisi belum stabil. 

Minyak goreng subsidi ini akan dipasarkan di pasar rakyat, pasar modern maupun e-commerce. Namun, faktanya di lapangan Pemerintah terkesan memprioritaskan dan mendahulukan distribusi minyak goreng murah  dominan ke ritel modern. Dalam kondisi seperti ini dirasa tidak adil bagi pedagang di pasar tradisional, karena banyak pelanggan pasar rakyat yang akhirnya belanja di ritel modern dan hanya menguntungkan peritel modern dan merugikan pedagang pasar tradisional.

Selain itu, pada saat kebijakan diberlakukan, stok minyak goreng pedagang pasar masih banyak dan tidak laku dijual karena belanja sebelumnya sudah diharga Rp 17.000 hingga Rp 19.000 per liter, dan harga jualnya masih Rp19.000 hingga Rp 21.000/liter. Di satu sisi, konsumen menanggung beban karena harus membayar harga yang lebih mahal demi mendapatkan sembako. 

Terkait harga minyak goreng kemasan, Pemerintah terkesan lepas tangan, Pemerintah nampak tak mengontrol, HET terkesan tidak berlaku untuk kategori minyak goreng jenis ini. Untuk minyak goreng kemasan sesuai keterangan dari Pemerintah akan menyesuaikan sesuai nilai keekonomiannya, artinya harganya mutlak pasar yang akan menentukan.

Nah kondisi seperti ini apakah Pemerintah sudah punya data terkait penggunaam minyak goreng, apakah masyarakat kecenderungan mengkonsunsi minyak goreng jenis apa berdasarkan peminatan masyarakat dengan berbagai pertimbangan. Jika volume penggunaan konsumsi minyak goreng curah memang lebih mendominasi dibanding  penggunaan minyak goreng kemasasan maka keputusan Pemerintah saat ini sudah tepat, tapi bagaimana jika kondisinya malah terbalik, pengguna minyak goreng kemasan jauh lebih banyak dari minyak goreng curah ?.  Apakah ini sudah di kalkulasi oleh Pemerintah termasuk dampak yang akam ditimbulkan?.

Inilah kondisi carut marutnya tata Kelola niaga yang tidak mendapatkan solusi hingga saat ini, selalu ada dua sisi dalam setiap cerita perniagaan. 

Kementerian Perdagangan (Kemendag) kembali meningkatkan kewajiban bagi produsen minyak kelapa sawit mentah (CPO) untuk memasok kebutuhan minyak goreng di dalam negeri (domestic market obligation/DMO) menjadi 30 persen. Dimana sebelumnya kewajiban ini hanya sebesar 20 persen. Peraturan yang baru nantinya mewajibkan DMO ini naik dari 20 persen  menjadi 30 %.

Menurut Pemerintah,  kebijakan tersebut merupakan bentuk wujud keadilan yang dihadirkan pemerintah untuk memberikan kenyamanan bagi masyarakat dalam mendapat harga minyak goreng yang terjangkau. Dengan begitu, produsen CPO akan diwajibkan untuk memasok produk minyak goreng hingga 30 persen dari total kapasitas ekspor setiap perusahaan.

Sebelumnya, pemerintah sudah memberlakukan kewajiban DMO bagi produsen minyak goreng sejak 14 Februari hingga 8 Maret 2022. Kemendag mengklaim kebijakan tersebut dapat memasok CPO hingga 110.004 ton dan RBD palm olein 463.886 ton. Menurut Pemerintah Dari jumlah tersebut, sebanyak 415.787 ton minyak hasil DMO telah disalurkan dalam bentuk minyak goreng curah dan minyak goreng kemasan.

Namun, faktanya di lapangan masih tidak memberikan dampak yang signifikan terkait kelangkaan dan naiknya harga minyak goreng tersebut. Disisi lain kebijakan DMO ini apakah sudah mempertimbangkam margin bagi para produsen juga ?.  

Menurut kami, berbagai kebijakan pemerintah terkait kelangkaan dan mahalnya harga sembako khususnya minyak goreng di pasaran ini terkesan terburu buru dengan dalil keadilan bagi masyarakat sebagai konsumen dengan memperketat kebijakan bagi para produsen. Dalam mata rantai ekonomi, Dari Produsen hingga ke Konsumen seakan-akan  pemerintah lupa bahwa ada alur distribusi. Di alur distribusi ini banyak pengusaha yang bertindak sebagai distributor sampai ke pedagang.

Jadi ada 2 rantai yang menurut kami belum dipantau dan belum terkena pengawasan dan kebijakan dari pemerintah perihal langkah pemerintah dalam mengatasi masalah minyak goreng ini yakni distributor dan pedagang.

Kelangkaan beberapa harga kebutuhan pokok, selain membebani masyarakat juga membuat bingung pemerintah. Nampak tak tau harus apa yang dilakukan sehingga tindakannya pun tak terukur.

Jika hendak mengatasi masalah, kami meminta agar pemerintah sebagai pengambil kebijakan serta Aparat Terkait Khususnya TNI Polri sebagai aparat pengawasan untuk menyisir dari Hulu hingga Hilir dalam mencari penyebab dan memutus serta mencari solusi dari permasalahannya jika memang ingin serius dalam memutus mata rantai yang menjadi  penyebab  selalu langka nya harga sembako khususnya minyak goreng di pasaran.

Apalagi tidak lama lagi kita akan memasuki  bulan suci Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri, dalam teori suply demand, fenomena ini akan makin meningkat tajam.

Selain itu, dalam mengambil kebijakan, pemerintah harus melibatkan semua komponen mulai dari produsen hingga ke konsumen dalam mencari solusi agar dalam pengambilan kebijakan tidak ada yang merasa dirugikan sendiri dan diuntungkan sendiri. Pemerintah harus bekerja cepat , terukur, adil dan tegas.Â