Ikhtiar Tingkatkan Literasi Peserta Didik dengan Buku Bacaan Bermutu

SHARE

Istimewa


CARAPANDANG -  Oleh: Amir Fiqi, Pemerhati Pendidikan, Penulis saat ini tinggal di Karawaci, Kabupaten Tangerang, Banten.

Bangsa maju adalah bangsa yang dimana masyarakatnya memiliki budaya literasi yang tinggi. Maka itu, menumbuhkan budaya literasi menjadi keniscayaan untuk membawa peradaban suatu bangsa menjadi lebih baik.

Kegiatan literasi membaca dan menulis  menempati kedudukan penting dalam suatu negara. Sehingga pemerintah sebagai penyelenggara pendidikan memiliki tugas berat bagaimana hadir dengan memberikan fasilitas yang lengkap dalam upaya menghidupkan budaya literasi di tengah-tengah masyarakat, terkhusus di dunia pendidikan.

Literasi tidak hanya diartikan secara sederhana yakni bagaimana kemampuan dalam membaca. Tapi kegiatan literasi ini memiliki arti yang lebih luas yaitu kemampuan berbicara, menulis, menghitung dan problem solving. Dalam arti lain literasi merupakan kemampuan seseorang untuk berbahasa.

Elizabet Sulzby (1986) mengartikan literasi sebagai kemampuan untuk berbahasa yang dimiliki seseorang. Dimana untuk kemampuan berbahasa tersebut digunakan dalam komunikasi, baik bicara, membaca, menulis, maupun menyimak dengan berbagai cara.   Sementara UNESCO mengartikan literasi sebagai sekumpulkan keterampilan kognitif  pada sesorang dalam menulis serta membaca yang dipengaruhi oleh kompetensi. Kompetnsi yang dimaksud dalam hal ini adalah institusi, konteks nasional, bidang akademik, pengalaman dan nilai-nilai budaya.

Menghidupkan budaya literasi

Kemampuan membaca dan menulis merupakan syarat awal bagi seorang anak untuk memulai suatu pembelajaran dalam proses pendidikannya. Maka itu, ini menjadi hal paling mendasar bagaimana seorang anak untuk mampu memahami dan mencerna dalam proses pendidikannya nanti.

Menurut Mery Finocchiaro dan Micahel Bonomo dalam buku berjudul The Foreign Language Learner: A Guide for Teacher (1973) membaca adalah proses memahami makna yang terkandung dalam suatu bahasa tulis.  Sedangkan menurut D.P. Tampubolon (1987) membaca memiliki arti sebagai proses penalaran untuk memahami ide atau pikiran yang terkandung dalam bahasa tulis.

Lantas, yang menjadi pertanyaan apakah setiap anak memiliki kemampuan yang baik dalam berliterasi? atau dalam proses membaca mereka hanya sekadar membunyikan kalimat dalam tulisan tersebut? Jika ini yang terjadi maka sangat disayangkan telah terjadi kegagalan dalam proses membaca itu sendiri.

Dan, hal di atas sangat mungkin terjadi, pasalnya setiap anak memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Selain itu, untuk menjadi insan yang literat tidak tiba-tiba muncul, tapi harus melalui proses yang panjang dalam mencetak genarasi yang literat.

Proses yang panjang tersebut tentu saja harus dibarengi dengan dukungan sarana dan prasana yang memadai bagi anak dalam melakukan kegiatan literasi mereka.  Dan proses tersebut tidak sepenuhnya digantungkan pada di lingkungan sekolah, tapi harus mendapat dukungan dari lingkungan keluarga dan lingkungan pergaulan.  Tapi, sekolah sebagai institusi pendidikan memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk generasi literat.

Budaya literasi seseorang bisa terbentuk melalui pola pembelajaran di sekolah dan tersediannya bahan bacaan di perpustakaan yang representatif.  Selain itu, tersediannya bacaan yang menarik dan berkualitas juga akan  membantu seseorang dalam berliterasi. Rendahnya kebiasaan membaca peserta didik selama ini disebabkan masih kurangnya atau belum tersediannya buku bacaan yang menarik.

“Penyebab rendahnya kebiasaan membaca adalah masih kurang atau belum tersediannya buku bacaan yang menarik minat peserta didik,” ujar Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim saat peluncuran Merdeka Belajar Episode ke-23 (27/2).  Jika itu masalahnya, tentu pemerintah berkewajiban untuk memenuhinya.

Untuk menjawab permasalahan tersebut, Kemendikbud-Ristek sepanjang tahun 2022 sudah mendistribusikan lebih dari 15 juta eksemplar buku bacaan bermutu kepada lebih 20 ribu PAUD dan SD yang paling membutuhkan di 470 kabupaten kota yang tersebar di daerah 3T.  Tidak hanya itu, pemerintah juga melakukan pelatihan dan pendampingan.  Hal tersebut penting untuk dilakukan agar tujuan meningkatkan budaya literasi kepada peserta didik berjalan sesuai harapan.

Dengan adanya pelatihan dan pendampingan diharapkan para guru dan pustakawan sekolah bisa benar-benar memahami manfaat dan kegunaan buku yang diterima dengan baik dan benar. Sehingga tidak akan ada buku-buku yang menumpuk di perpustakaan karena tidak dimanfaatkan.

Indonesia darurat literasi

Kebijakan Kemendikbud-Ristek dalam memperkuat gerakan literasi merupakan keputusan yang sangat tepat, pasalnya Indonesia masuk dalam negara darurat literasi. Literasi siswa-siswa di Indonesia masih tertinggal jauh dengan negara berkembang lainnya.

Hal tersebut tergambar jelas pada hasil Asesmen Nasional (AN) tahun 2021 yang menunjukan Indonesia masih mengalami darurat literasi, yang artinya 1 dari 2 peserta didik belum mencapai kompetensi minimum. Hasil yang sama juga tergambar pada hasil Programme for International Student Assessment (PISA) selama 20 tahun terakhir memperlihatkan skor literasi peserta didik di Indonesia belum berubah signifikan di bawah rata-rata peserta didik di negara anggota Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).

Ini menjadi permasalah yang sangat serius. Maka itu, diperlukan kerja keras untuk menyusul ketertinggalan itu. Jika tidak, maka kualitas pendidikan di Indonesia akan terus jauh tertinggal dibanding bangsa-bangsa lain.

Kebijakan yang dinilai menjawab permasalahan literasi ini mendapat dukungan dari berbagai pihak. Seperti dukungan yang disampaikan oleh Kepala Perpustakaan Nasional, Muhammad Syarif Bando yang mendukung penuh kebijakan Merdeka Belajar Episode ke-23.

“Program ini sangat mulia dan bagus karena akan melibatkan perpustakaan-perpustakaan di sekolah guna mempercepat terwujudnya kualitas sumber daya manusia (SDM) sesuai dalam RPJM,” tutur Syarif.

Dukungan juga hadir dari Anggota Komisi X DPR RI, Fraksi PDI-P, Andreas Hugo Pareira. Dia berharap buku-buku yang telah didistribusikan oleh Kemendikbud-Ristek ke daerah-daerah yang membutuhkan tersebut akan meningkatkan minat baca anak-anak di seluruh pelesok negeri.  “Semoga dengan adanya buku-buku ini dapat meningkatkan minat baca dan indeks literasi anak-anak Indonesia,” tuturnya.

Hal senada juga disampaikan oleh Penjabat (Pj.) Bupati. Kabupaten Kepulauan Sangihe, Provinsi Sulawesi Utara, Rinny Tamuntuan. Dia  meyakini bahwa untuk meningkatkan kemampuan literasi, buku bacaan merupakan media yang sangat bermanfaat. Oleh karena itu, ia beserta jajarannya akan mendukung program Buku Bacaan Bermutu.

“Saya selaku penjabat bupati bersama kepala dinas pendidikan dan kebudayaan daerah akan memberikan perhatian khusus kepada fasilitator pendamping supaya guru dapat memanfaatkan buku-buku ini semaksimal mungkin sebagai bahan ajar yang mendukung peningkatan mutu literasi di sekolah,” tutur Rinny.

Dukungan terhadap kebijakan tersebut juga disampaikan oleh Wali Kota Dumai, Provinsi Riau, Paisal “Kami menyambut baik program pendampingan pemanfaatan buku bacaan literasi yang diselenggarakan ini semoga berjalan sukses dan berkesinambungan,” tuturnya.

Kebijakan ­­yang tengah dilakukan oleh ­­­­­­Kemendikbud-Ristek ini merupakan ikhtiar yang nyata untuk meningkatkan literasi siswa/peserta didik. Dengan langkah inilah diharapkan akan menghantarkan pendidikan Indonesia semakin lebih baik. Dalam menumbuhkan budaya literasi anak bangsa ini jangan dibebankan oleh pemerintah melalui Kemendikbud-Ristek, tapi dukungan semua pihak sangat dibutuhkan sehingga cita-cita yang diharapkan melahirkan insan yang literat segera terwujud. Semoga