Kenaikan Suku Bunga Fed dan Dampaknya Bagi Indonesia

SHARE

Rupiah


CARAPANDANG - Bank Sentral Amerika Serikat (AS), The Fed kembali menaikkan suku bunga acuan pada bulan ini sebesar 75 basis poin (bps) menjadi 1,5 persen hingga 1,75 persen, yang menjadi kenaikan suku bunga terbesar sejak tahun 1994.

Langkah tersebut disebabkan tingginya inflasi di Negeri Paman Sam dan belum terdapat tanda-tanda penurunan yang signifikan.

Mengawali tahun 2022, inflasi di AS mencapai 7,5 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy) pada bulan Januari, yang kemudian meningkat pada Februari menjadi 7,9 persen (yoy), 8,5 persen (yoy) pada Maret, dan 8,3 persen (yoy) di bulan April.

Bahkan, inflasi yang diukur dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) tersebut melonjak 8,6 persen pada Mei (yoy), sehingga menandai inflasi ketiga berturut di atas delapan persen dan mencapai level tertinggi baru selama empat dekade.

Sebelum meningkatkan suku bunga acuan sebesar 75 bps pada bulan ini, otoritas moneter AS sebenarnya sudah mulai menaikkan bunga sejak awal tahun ini yakni sebesar 25 bps pada Maret dan 50 bps pada bulan Mei.

Hanya dengan kenaikan awal tersebut, pasar keuangan berbagai negara di belahan dunia termasuk Indonesia mulai sedikit terguncang.

Nilai tukar rupiah menjadi salah satu yang paling terdampak, tercermin dari depresiasi yang cukup signifikan.

Pada akhir tahun 2021, nilai tukar rupiah berada di level Rp14.312 per dolar AS dan terus stabil di kisaran angka tersebut pada bulan Januari 2022. Namun pada bulan Februari, rupiah mulai bergerak melemah ke arah Rp14.400 per dolar AS seiring kekhawatiran rencana kenaikan suku bunga Fed.

Alhasil saat The Fed menaikkan suku bunga acuan untuk pertama kalinya setelah berada di kisaran nol persen saat pandemi melanda, rupiah terus melemah dan bergerak di kisaran Rp14.400 per dolar AS pada Maret 2022.

Mata uang Garuda pun terus turun ke rentang Rp14.500 per dolar AS sampai Rp14.600 per dolar AS saat kenaikan kembali bunga AS pada bulan Mei.

Memasuki awal bulan Juni, rupiah melanjutkan pelemahannya karena perkiraan pasar akan kenaikan suku bunga acuan negeri adidaya yang lebih agresif. Kurs Garuda kian tertekan usai Fed menaikkan suku bunga ketiga kalinya dan per 17 Juni 2022 berada di level Rp14.825 per dolar AS.

Penurunan nilai tukar rupiah terjadi karena keluarnya aliran modal asing dari pasar keuangan domestik akibat investor yang mulai menarik diri dari aset berisiko dan beralih mencari instrumen keuangan di negara safe haven.

Terhambatnya modal asing juga disebabkan oleh kenaikan imbal hasil atau yield obligasi Indonesia yang tertekan sikap hawkish Fed.

Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), yield SBN Indonesia tenor 10 tahun naik ke level 7,39 persen pada pagi hari Jumat (18/6) dari sebesar 7,36 persen pada penutupan Kamis (16/6).

Pada pekan saat Fed untuk ketiga kalinya menaikkan bunga yakni 13-16 Juni 2022, terdapat aliran modal asing keluar sebesar Rp7,34 triliun dari pasar keuangan domestik yang terdiri dari Rp6,75 triliun di pasar SBN dan Rp590 miliar di pasar saham.

Selain karena keluarnya modal asing, dolar AS yang menguat akibat kenaikan suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat pun turut menekan rupiah.

Halaman : 1