Menjadi Bangsa Pemenang

SHARE

Pastinya atas prestasi ini disambut gemuruh apresiasi, bangga, haru senang bukan kepalang, dan semua sama sekali tidak mengherankan euforia terasa pada masing-masing dada warga bangsa Bumiputera Indonesia.


CARAPANDANG - oleh Mujamin Jassin (Pemerhati Sosial Politik)

Lewat laga yang sungguh dramatis, sengit, taruhan gengsi, kerja keras, adu strategi, tak ada kompromi permainan total garuda muda. Dibumbui riuh membahananya teriakan semangat dari para suporter merahkan stadion. Sesekali nyanyian, yel-yel mengekspresikan semangat keindonesiaan membuat kompetisi menjadi semakin meriah. Semua itu demi untuk yang dinanti kembali, dan akhirnya timnas sepakbola kita didaulat medali emas SEA Games.

Pastinya atas prestasi ini disambut gemuruh apresiasi, bangga, haru senang bukan kepalang, dan semua sama sekali tidak mengherankan euforia terasa pada masing-masing dada warga bangsa Bumiputera Indonesia. Senantiasa memang sudah lazim demikian! Ya benar, terbasuh sudah dahaga setelah 32 tahun bangsa puasa juara timnas sepakbola di level kawasan.

Kemenangan timnas sepakbola terutama penting sekali, karena Indonesia punya alasan pasar populasi besar pecinta sepakbola. Meski sebenarnya multi cabang olahraga lain yang juga perlu menumbuhkan rasa solidaritas. Diantaranya misalkan Cabor Badminton yang gaet bawa pulang 5 emas, 3 perak, 3 perunggu.

Namun apa yang dapat kita petik dari gelar prestasi keseluruhan menggembirakan merah-putih memenangkan SEA Games? Perayaan besar, larut dalam histeria dengan melupakan atau mengabaikan insiden baku-hantam, hanya itu? Tentu saja tidak, Momentum ini harus berkontribusi positif, trigger yang membuat mental bangsa semakin bernyali kedepan. Tidak lagi minder atau demam panggung seolah-olah dari bangsa-bangsa lain lebih superior.

Berharap pula juara ini menjadi hadiah sebuah reputasi sejarah yang dapat membuahkan kesadaran kepada semua hal. Seperti ekspresi kesadaran serupa ketika misalkan sebaliknya sedang ada perkara-perkara bangsa yang pelik, menyedihkan, merisaukan hati dan atau yang memprihatinkan.

Atmosfernya tidak hanya puja-puji, prestasi bola itu harus semakin menumbuhkan spiritualitas nasionalisme. Yakni nasionalisme yang mendenyutkan, diarahkah sebagai sarana yang semakin memperkuat ikatan primordialisme, persatuan dan kesatuan kita. Kendati betapa ditengah kenyataan perbedaan keberagaman latar suku, adat istiadat, budaya, agama, ras, golongan atau aliran preferensi politik!

Selanjutnya, prestasi luar biasa ini harus semakin menumbuhkan spiritualitas nasionalisme pada seluruh bidang-bidang kehidupan lainnya. Adalah tetapi bukan nasionalisme simbolik yang wanginya mudah lenyap, hilang seharian saja, nasionalisme yang matang pagi mentah sore.

Nasionalisme dangkal yang berkutat pada polemik spektrum ideologis, kelas populasi mayoritas-minoritas, masih seputar kepentingan atau kedudukan dalam kekuasaan. Bukan juga nasionalisme kolonial yang bawa obsesi pertentangan rasisme sektarian.

Mengapa begitu pentingnya membangun spirit penguatan kesadaran nasionalisme? Sebab kita ingin Indonesia menjadi bangsa pemenang, mendapatkan prestasi masa depan yang lebih pamor prestise daripada sekedar hanya menjuarai sebidak saja.

Titik Star

Kita mau Indonesia masa datang yang berkeadaban, sejahtera, adil makmur secara sosial ekonomi. Membangun bangsa kelas dunia, negeri yang maju berilmu, canggih secara teknologi, tangguh, kuat mentalnya dan seterusnya?

Skema pijaknya mulai dari penguatan paradigma, mindset, mental nasionalisme. Konsep menjadi bangsa pemenang adalah menciptakan prestasi, merawat serta menjaganya secara berkesinambungan. Kemudian menancapnya sebagai pakem filosofi yang mendarah daging, tertanamkan tidak mengubahnya kendati rezim berganti rezim.

Termasuk meluruskan konvoi kemenangan hari ini bukan sketsa agenda panggung politik bagi petinggi atau elite, tak ingin menyaksikan mereka yang bertindak pragmatis saling klaim, merasa secara langsung terlibat proaktif padahal terpisahkan aturan. Selain pemain, orang pertama yang layak diakui mendapat apresiasi adalah pelatih. Sebab istimewanya ia, semua yang kita saksikan sekarang adalah hasil dari penerapan sistem total football diajarkan atau di bawah asuhan dan racikannya.

Cara-cara, pola, atau gaya lama sudah seharusnya kita tinggalkan. Sebagaimana juga mengubah strategi cara bermain di tim sepakbola yang acapkali rentan rapuh. Peran moral, peran sosial, peran intelektual (politik gagasan).

Bahwa kebutuhan pada tiap-tiap pergulatan politik, haruslah disertai gagasan akan pemahaman keindonesiaan. Perhelatan politik yang menghiasi perjalanan menuju Indonesia modern, adalah memilih nahkoda yang bawa tawaran bagi perbaikan bangsa. Pemimpin yang bukan sekedar menjalankan rutinitas Pekerjaan Rumah, melainkan mengerjakan pekerjaan sejarah.

Tantangan sosial, politik, dan ekonomi kedepan, kepada siapapun tanpa terkecuali, termasuk apapun warna partainya semuanya bertanggung jawab. Sama halnya menganggap saat berlaga dengan tim lawan, menang sebagai taruhannya. Geliat nasionalisme harus dipelihara agar semakin subur berkecambah kewajaran dalam setiap kehidupan berbangsa. Jika tidak, kita akan terus berkecamuk dalam kemelut artifisial dan terjebak pada hal kecil yang tak berkesudahan.

Peluang hanya ada dalam rentan 13 tahun kedepan, seperti disebutkan secara terang oleh presiden Jokowi pada pidatonya yang melengking dalam puncak acara ‘musyawarah rakyat’ lalu. Disebutkan kita harus mampu menggunakan kesempatan yang hanya sekali dalam sejarah bangsa tersebut. Menimbun banyak prestasi nasional, termasuk kuat, tabah untuk menjaga harkat dan martabatnya.

Menjauhi terlampau asyik bergelut politik kebisingan. Yang membuat pasif fungsi sosial-kemasyarakatan, dan demoralisasinya nasionalisme. Kita setuju modal bonus demografi Indonesia yang mencapai puncaknya pada tahun 2035, membuktikan betapa Indonesia bangsa besar. Pada saat itu kita ingin mengejar kesempatan emas menjadi negara maju, target kemenangan harus jauh lebih tinggi.