Merangkai Asa Masyarakat Pedalaman Kaltara dengan Perhutanan Sosial

SHARE

Istimewa


Persoalan perhutanan Kaltara

Makna strategis program Perhutanan Sosial bisa terlihat jika dikaitkan dengan kasus-kasus persoalan pengelolaan hutan di Kaltara.

Lihat saja, masyarakat pedalaman Kalimantan --secara administratif-- sudah sejak lama diakui keberadaan wilayahnya, yakni adanya desa definitif yang tercatat di Kabupaten setempat.

Namun, dalam pengelolaan kawasan wilayahnya secara formal kadang ada persoalan --benturan kepentingan-- dengan izin konsesi perhutanan.

Ada banyak desa pada beberapa waktu kemudian akhirnya baru diketahui jika mereka berada di dalam areal konsesi perusahaan atau berada di dalam kawasan konservasi yang dikelola negara.

Kondisi itu kadang membawa persoalan saat masyarakat melakukan aktivitas, termasuk dalam pembangunan.

Sebut saja Desa Long Nyau Kecamatan Tubu Kabupaten Malinau. Sampai 2018, warga desa sama sekali tidak menyadari desa mereka berada di dalam areal perusahaan perkayuan.

Masyarakat berkeyakinan wilayah mereka sudah aman karena telah disepakati secara geografis dengan desa tetangga sudah ada batas bentang alam.

Warga tidak tahu, potensi hutan yang berlimpah kayu, ternyata juga sudah "dikotak-kotak" ke dalam izin konsesi perusahaan perkayuan. Padahal hutan yang mengelilingi Long Nyau hakikatnya adalah sumber penghidupan masyarakat di desa itu.

Pada kawasan yang masuk konsesi perhutanan ini terhampar hijau ladang-ladang masyarakat bak permadani. Di sana terdapat hutan yang menjadi tempat mereka berburu untuk memenuhi kebutuhan pangan.

Pada kawasan tertutup rimbun hijau hutan hujan tropis itu menyimpan berbagai hasil ikutan bukan kayu, misalnya rotan, damar, sarang burung dan gaharu yang bernilai ekonomis tinggi untuk menopang kehidupan mereka.

Kondisi serupa juga dialami oleh warga desa Long Lake, Kecamatan Malinau Selatan Hulu, seperti dilaporkan oleh Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, yakni salah satu LSM pendamping masyarakat adat setempat.

Demikian juga kasus yang serupa terjadi di desa lainnya di Malinau --masih berdasarkan laporan KKI Warsi-- antara lain Desa Long Pada (Kecamatan Sungai Tubu), Desa Laban Nyarit (Kecamatan Malinau Selatan), Wilayah Palancau dan Kecamatan Pujungan.

Total wilayah administrasi 28.131 Ha dan sebagian besar sudah terdapat Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam (IUPHHK-HA) --dulu disebut izin hak pengusahaan hutan/HPH-- kepada PT. Inhutani II Unit Sei Tubu dan PT. Gunung Sidi Sukses Makmur 17.295 Ha.

Hutan tersisa --belum ada perizinan-- di wilayah Desa Long Lake hanya 10.836 Ha dan terbagi dalam empat poligon (garis dalam peta) yang berjauhan, yaitu di sekitar Sungai Arah, Sungai Patok, Sungai Kitab, dan hulu Sungai Luwe.

Wilayah hutan yang tersisa di Desa Long Lake itu faktanya “dikepung” oleh perizinan perusahaan kayu melalui IUPHHK-HA.

Guna menekan kasus seperti ini, maka pemberian konsesi seyogyanya harus diimbangi dengan pengakuan wilayah masyarakat sekitar hutan.

Halaman : 1