Ogah Politik Membadut

SHARE

ilustrasi - pexels


CARAPANDANG - oleh Mujamin Jassin 

Membaca tema diskusi ‘Menyoal Politik Anak Muda”, seketika langsung meraba-raba isi perasaan, seberapa pedulinya pemuda terhadap politik?

Kemudian terbawa mimpi seolah tersurati Machiavelli yang mengagumi kelimpahan Sumber Daya di negeri ini. Dan anggaplah pula buah reformasi sebagai senjata kemujuran, lantas bagaimana kemampuan kaum muda menggunakannya?

Bila bicara pertanggungjawaban pemuda terhadap agenda reformasi, cukup saja sekedar pelampiasan hak kebebasan berekspresi, kemerdekaan berserikat dan atau kebebasan menyampaikan pikiran lisan-tulisan di muka umum?!

Apakah membiarkan saja, baik sama semua, memunggungi alam yang menentukan?! Di tengah mulai gencarnya gejala sindrom “politik siapa tau nasib” yang mengepung, politik populisme yang mengandalkan citra diri mengerumuni.

Politik rancangan kebohongan, petuahnya terdengar jujur lalu ingin dihormati, dan dieluk-elukkan. Tetapi, tidak berbuah kebaikan sembuhkan yang sakit, dengarkan yang tuli, datangkan keindahan semesta seperti gerutu Mark Twain.

Fundamental politik bagi-bagi bingkisan setakar beras, mendistorsi bobot nilainya yang akhirnya hanya berorientasi kekuasaan bagaimana dapat apa, dan berapa.

Wajah politik salah guna, niretis angkuh pikun lupa diri, (lihat vidio viral tolak salaman). Bahkan alami iritasi KKN Mengamini saja semua aski politik membadut hanya karena alasan tertimbang darah politik perkoncoan-oligark?

Mutlak perlu aktualisasi diri pemuda, memberikan daya kejut ramai-ramai ikut bertarung di arena politik. Meletakkan regime Pemilu, Pileg, Pilkada, dan atau hingga level Pilkades sebagai babak baru.

Ronde atau episode pembebasan politik yang menjawab kerisauan serta semua kegelisahan. Pintu masuk untuk perbaikan atas penyimpangan-penyimpangan seperti yang digambarkan di atas.

Keterlibatan pemuda praktis diyakini mampu menghalangi kembalinya pengalaman pahit mencicipi kemerosotan politik mengerutkan kening yang membalas kepercayaan rakyat dengan pengkhianatan.

Gelobamng lautan embrionalnya pemuda, tentulah sangat piawaia progresif mengaplikatifkan politik modern yang memfokuskan perhatiannya pada tujuan hasil maksimal, tuntas dan berdaya guna untuk tujuan keadilan kemanusiaan dan pembebasan sebagaimana cita-cita religi (Maarif,1984).

Selain melakukan counter issue atau memuat opini-opini tandingan dari warta distopia politik pecah-belah, dan melawan penyebaran Hoax yang bahkan ditengarai dikerjakan secara institusional saat ini.

Melakukan aksi-aksi kontrol sosial gerakan movement yang benar-benar direfleksikan secara mendalam. Memprakarsai dan mereproduksi pergerakan jalanan demonstrasi yang terus-menerus dimunculkan pada ruang-ruang publik.

Berharap kesadaran, naluri dan produktifnya kreativitas politik kaum muda sebagai jembatan sandarannya bangsa mendatang. Tak ayal berharap pula semoga nestapa politik membadut tidak berpeluang ulang petaka, wabah menulari penyakit ogah politik dan menjadi kutukan bagi sebuah eksistensi kaum muda.

Reformasi sudah terlanjur kita andalkan sebagai trigger pembenahan peradaban. Maka paradigma pemuda juga harus mengarahkan maju energi rasionalitasnya. Menciptakan kualitas, dan performance politik dari penyalahgunaan dan monopoli.

Saatnya aku menikmati cerahnya petikan gitar klasik dari album membadut, tiba-tiba dihampiri letupan awan tertutup mendung. Hal ihwal awal memprovokasi hati untuk menggulung helai bunga (sambung nyanyi dengan cuaca politik).

Senyumanmu bagaikan candu…
…Tetapi anganmu melayang-layang, bercerita tentang bahagia.
…Memakai topeng untuk… …Disini aku hanyalah badutmu.
Wa-o,su-tu, tu-tu.


Begitu potongan lirik dari tiga lagu sekaligus, ‘Sang Badut’ ‘Halu’, dan Badut’. Enak didengar berulang-ulang. Nggak ngebosenin.