Adopsi Kendaraan Listrik, Indonesia Perlu Belajar Dari Tiga Negara Ini

SHARE

Istimewa


CARAPANDANG.COM – Dalam hal mendorong adopsi kendaraan listrik (electric vehicle/EV) di Tanah Air, maka pemerintah Indonesia dinilai perlu belajar dari tiga negara, yakni Norwegia, Amerika Serikat (AS), dan China.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa dalam webinar bertajuk "Mengembangkan Ekosistem Kendaraan Listrik di Indonesia", Selasa, mengatakan ketiga negara tersebut memiliki tingkat adopsi kendaraan listrik yang tinggi.

"China dan AS mencatatkan penjualan kendaraan listrik tertinggi, sementara Norwegia penjualan kendaraan listriknya pada 2020 mencapai 54,3 persen," katanya.

Fabby menuturkan dalam satu dekade terakhir, secara global kendaraan listrik mengalami kenaikan pesat. Penjualan EV pada 2011 tercatat hanya 0,1 persen dari total pangsa pasar yang ada. Pada 2020, penjualan EV meningkat menjadi 4,4 persen dari total pangsa pasar dengan jumlah 3,2 juta unit kendaraan listrik yang dijual sepanjang 2020.

"Yang menarik di Norwegia, pada 2020 penjualan EV di sana mencapai 54,3 persen dari hanya 1 persen pada 2011. Kenaikan ini juga buah konsistensi pemerintah Norwegia menerapkan kebijakan untuk mendorong penetrasi kendaraan listrik," tuturnya.

Kendati penjualan kendaraan listrik global mengalami peningkatan, Periset Teknologi Energi dan Kendaraan Listrik IESR Idoan Marciano menjelaskan penetrasi kendaraan listrik di Indonesia masih jauh dari target.

Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Perindustrian, telah menetapkan sejumlah target adopsi kendaraan listrik di Indonesia. IESR mencatat, hingga 2020 baru ada 229 unit mobil listrik dari target di tahun yang sama sebanyak 150 ribu unit; 1.947 unit motor listrik dari target 750 ribu unit; 27 unit pengisian daya dari target 6.316 unit; dan 9 unit stasiun penukaran baterai dari target 180 unit.

"Bila kecepatan adopsi ini tidak meningkat, dan akan sama maka target yang ditetapkan untuk tahun berikutnya yaitu pada 2025 dan 2030 tidak akan tercapai," ujarnya.

Idoan mengungkapkan tingkat adopsi kendaraan yang rendah ternyata berkaitan erat dengan pengembangan ekosistem kendaraan listrik di dalam negeri yang baru saja dimulai.

"Kalau dibandingkan tiga negara pembanding (AS, China dan Norwegia) yang sudah membangun ekosistem, ada kesenjangan antara Indonesia dengan tiga negara tersebut dalam aspek ekosistem," katanya.

Aspek ekosistem kendaraan listrik yang dimaksud mencakup kebijakan, infrastruktur pengisian daya, industri/rantai pasok, kesadaran masyarakat serta pasokan dan ketersediaan model.

Idoan menjelaskan meski Indonesia memberikan fasilitas insentif fiskal, tapi total insentif yang diberikan masih kalah dibanding China, AS dan Norwegia.

"Total insentif yang diberikan pemerintah hanya mengurangi 40 persen dari harga awal kendaraan listrik yang masuk ke Indonesia," katanya.

Berdasarkan infrastruktur pengisian daya, dari peta jalan yang ditetapkan PLN, pada 2025 Indonesia hanya akan mencapai rasio sebanyak 1:70 antara jumlah charger dan jumlah kendaraan listrik yang beredar. Dibanding tiga negara tadi, rasio tersebut bisa ditekan kurang dari 1:25.

Dari sisi industri, hingga saat ini belum ada fasilitas produksi di Indonesia yang sudah beroperasi untuk memproduksi komponen kendaraan listrik dan material pendukung, terutama baterai. Meski sudah ada investasi di sisi hulunya untuk pembuatan prekursor dan katoda baterai kendaraan listrik.

"Ini karena kita masih di tahap awal pengembangan," katanya.

Selanjutnya, dari sisi kesadaran masyarakat, orang Indonesia cukup sadar manfaat kendaraan listrik. Namun, karena alasan ekonomi dan informasi mengenai insentif yang belum merata membuat penetrasi kendaraan listrik ke masyarakat masih rendah.

Dari sisi pasokan, ketersediaan pasokan dan beragamnya model yang ditawarkan sangat mempengaruhi minat konsumen beralih ke kendaraan listrik. Di China, misalnya, ada lebih dari 500 perusahaan produksi kendaraan listrik dengan total kapasitas produksi mencapai 4 juta unit per tahun.

"Di Indonesia belum ada fasilitas produksi untuk mobil, tapi motor sudah ada 15 perusahaan dengan kapasitas total 877 ribu unit per tahun. Namun, demand yang ada belum mampu menyamai total kapasitas produksi," jelas Idoan.