Dinamika UU Keterbukaan Informasi Publik

SHARE

Informasi (RMIT University)


CARAPANDANG.COM – Kebebasan informasi adalah sesuatu yang—semestinya—mutlak ada dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Well informed society jelas adalah syarat inti kemajuan suatu masyarakat.

Jika kita tarik hubungan kekuasaan negara dengan kebebasan memperoleh informasi, maka kebebasan informasi adalah salah satu perangkat bagi masyarakat untuk mengontrol setiap langkah dan kebijakan yang diambil oleh pejabat, yang otomatis hal ini akan berpengaruh pada kehidupan mereka. Tepat di titik inilah kita menemukan benang merah antara kebebasan informasi dengan wacana demokratisasi. Jika kita asumsikan bahwa kekuasaan negara berasal dari rakyat, maka penyelenggaraan kekuasaan sejatinya setiap saat harus selalu dapat dipertanggungjawabkan kembali pada rakyat.

Dalam upaya mengakselerasi terwujudnya clean and good governance, setidaknya negara kita memiliki tiga undang-undang yang menjadi tonggak reformasi birokrasi dan transparansi pemerintahan. Undang-undang tersebut yakni UU No. 25/2009 tentang Pelayanan Publik, UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, dan UU No. 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN.

Meski telah diundang-undangkan, namun keterbukaan informasi publik secara kualitas belum berjalan sempurna. Padahal idealnya, setiap orang bisa melihat apa saja yang telah, sedang, dan akan dilakukan baik oleh pemerintah atau lembaga. Semua lembaga yang mendapat dana publik harus membuka akses ke publik. Itu semua adalah sebuah keharusan. Salah satu asas UU KIP adalah maksimum access and limited exemption. Artinya, seluruh informasi publik pada dasarnya bersifat terbuka. Adapun pengecualian hanya dapat dilakukan secara ketat, terbatas, lebih berorientasi pada kepentingan umum. Keputusan untuk membuka atau menutup suatu informasi yang dikecualikan, harus dilakukan dengan mempertimbangkan kepentingan publik yang lebih besar. Begitulah idelanya.