Implementasi UU PKDRT di Kejaksaan

SHARE

Istimewa


CARAPANDANG - Masih dalam rangkaian Kampanye Jelang Dua Dekade Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) bersama Perkumpulan Jalastoria Indonesia (JalaStoria) menggelar Dialog Aparat Penegak Hukum mengenai Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Selasa (19/9). Sebelumnya, Dialog dengan Tokoh Agama, dan Lembaga Penyedia Layanan juga telah dilakukan.

Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan KemenPPPA, Ratna Susianawati menuturkan perspektif tokoh agama, pengada layanan, dan aparat penegak hukum perlu dihimpun untuk memperoleh masukan, pemikiran, sekaligus identifikasi tantangan-tantangan yang masih dihadapi dalam upaya penghapusan KDRT serta untuk menyusun kebijakan yang berkontribusi dalam menurunkan angka KDRT.

“Kalau melihat dari sisi regulasi, pasca lahirnya Undang-Undang PKDRT ini sudah hampir dua dekade. Ini (implementasi UU) terus kami evaluasi, terus kami lakukan perbaikan-perbaikan baik dari sisi kerangka regulasi, penguatan kapasitas SDM untuk bisa memberikan layanan yang terbaik, dan langkah-langkah dalam memastikan perempuan dan anak terbebas dari kekerasan khususnya KDRT,” ujar Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan KemenPPPA, Ratna Susianawati.

Ratna Susianawati menuturkan bahwa kasus-kasus KDRT kerap menjadi perhatian di masyarakat. Data SIMFONI PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak) sepanjang 2022 masih menunjukkan bahwa kasus kekerasan tertinggi yang dialami perempuan, 73 % adalah kekerasan dalam rumah tangga, dengan jenis kekerasan terbesar yang dialami adalah kekerasan fisik.

“Tantangan dan dinamika dalam penurunan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak khususnya KDRT itu luar biasa. Tentunya dari perspektif penanganan dan penegakan hukum akan membantu kita mengkaji sejauh mana penyelesaian kasusnya. Dialog ini adalah salah satu upaya KemenPPPA dalam memastikan hulu hilir penanganan kasus-kasus KDRT agar bisa dilakukan secara komprehensif,” terang Ratna.

KemenPPPA tidak bisa bekerja sendiri dalam upaya menurunkan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak. Rangkaian agenda dialog ini juga untuk membangun dan meningkatkan sinergi serta kolaborasi bersama dalam memastikan pencegahan, penanganan dan penegakan hukum dalam kasus KDRT.

Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (UPPA) Bareskrim POLRI, Ema Rahmawati menjelaskan dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak termasuk KDRT, POLRI telah memiliki Unit PPA yang tersebar hingga ke tingkat Polres yang berfungsi untuk memberikan perlindungan, penanganan, dan pelayanan khusus, termasuk juga pendampingan bagi korban perempuan dan anak. 

Dalam penanganan kasus KDRT, diakui Emma bahwa berbagai masalah dan kendala masih dihadapi oleh pihak kepolisian. Misalnya, terkait persepsi APH (aparat penegak hukum) yang belum sepaham dalam memaknai UU PKDRT, batasan-batasan tertentu dalam UU PKDRT yang dinilai belum jelas, dan keterbatasan SDM.

“Keterbatasan SDM jika dibandingkan dengan banyaknya kasus memang masih menjadi kendala yang kami alami. Dalam penanganan kasus, kami juga perlu bekerja sama dengan stakeholder terkait misalnya UPTD PPA, lembaga pengada layanan atau lembaga sosial. Kasus KDRT ini memerlukan kepekaan seorang penyidik, melihat apakah korban memerlukan perlindungan, tempat untuk berlindung, pendampingan, psikolog, dan lain-lain. Kami juga masih harus membangun kembali pemahaman kepada seluruh penyidik kami di kewilayahan tentang perlunya asessment kebutuhan korban di awal,” jelas Ema Rahmawati.

Di tingkat Kejaksaan, Erni Mustikasari Jaksa Ahli Madya Kejaksaan RI menuturkan UU PKDRT sudah masuk dalam mata diklat khusus pada pendidikan dan pelatihan bagi Jaksa. Meski demikian, Eni mengamini pernyataan dari pihak UPPA POLRI yang memandang bahwa masih ada celah hukum diantaranya terkait batas ruang lingkup dalam UU PKDRT yang kerap menjadi persoalan dan kendala dalam implementasi bagi APH khususnya Jaksa. 

“Yang penting ternyata perspektif kita bersama. Ketika seorang istri melaporkan suami pasti perlakuan yang diterima sudah kelewatan, pertengkaran sudah sering. Maka perspektifnya (APH) harus dibangun, sensibilitas juga. Satu lagi, Restoratif Justice (RJ) jangan dipahami sebagai penghentian perkara tapi adalah pendekatan yang memulihkan. Kalau korban mendapatkan rehabilitasi medis, restitusi dan kompensasi, pelaku bisa memahami kesalahannya dan telah membuat luka itu RJ. RJ itu ketika kita bisa memberikan pemulihan kepada pelaku, korban dan masyarakat,” jelas Erni Mustikasari.

Rangkaian Kampanye Jelang Dua Dekade UU PKDRT merupakan langkah kolaboratif yang strategis antara Kemen PPPA dan JalaStoria dalam menyosialisasikan dan membangun literasi masyarakat Indonesia terkait pencegahan dan penanganan KDRT melalui UU PKDRT. Sebelumnya kegiatan Kick Off Kampanye Jelang Dua Dekade UU PKDRT, Dialog dengan Tokoh Agama dan Pengada Layanan telah dilakukan. Dialog Aparat Penegak Hukum Mengenai Penghapusan KDRT secara lengkap dapat disaksikan di akun Youtube KemenPPPA RI. dilansir kemenpppa.go.id