Ini Bedanya Membaca Komik Jepang dan Komik Amerika

SHARE

Komik (go comics.com)


Dalam hal membaca manga terdapat sejumlah serba-serbi yang menarik. Berikut uraiannya (Seno Gumira Ajidarma, Panji Tengkorak: Kebudayaan dalam Perbincangan, hlm. 521-526).

Supaya bisa membaca begitu banyak komik, orang Jepang harus menjadi pembaca cepat. Telah disebutkan tentang kecepatan membaca rata-rata, yakni 20 menit untuk komik 320 halaman yang berarti 16 halaman per menit atau 3,75 detik untuk tiap halaman. Dengan kata lain, terdapat suatu bentuk keterampilan membaca yang dikembangkan oleh generasi baru Jepang.

Ketebalan buku komik Jepang juga memungkinkan penggubah mengembangkan gambar-gambar sebagai efek visual. Komik Amerika bisa dianggap sangat terbatas dalam pemanfaatan ruang dibanding komik Jepang: di koran-koran, baris komik hanya menyediakan empat atau lima panel komik untuk bercerita, sedangkan untuk buku komik tiap penggubah hanya membuat tak lebih dari 20 halaman setiap bulan; bandingkan dengan 30 halaman setiap minggu oleh penggubah komik Jepang. Ketika dibukukan ini bisa menjadi sepuluh jilid atau lebih dari 2.000 halaman. Jika penggubah komik Amerika akan menggunakan satu bingkai yang penuh sesak untuk adegan superhero menghajar musuh, penggubah komik Jepang perlu banyak halaman untuk menggambarkan seorang samurai bertarung dengan lawannya, demi pelukisan dari berbagai sudut pandang kamera. Terdapatnya ruang eksperimen membuat para penggubah komik Jepang menjadi sangat ahli dalam perancangan halaman. Mereka harus membuat halaman itu mengalir; untuk membangun ketegangan dan membangkitkan gairah dengan melakukan variasi atas jumlah bingkai yang digunakan untuk menggambarkan suatu sekuen; selain menggunakan teknik sinematik seperti menghilang dan muncul (fade out-fade in), pengadukan (montage), dan penumpang-tindihan (superimposed).

Bahasa Jepang, melalui manga, memperlihatkan keajaiban dalam efek suara. Komik Amerika juga dikenal karena ciri khas efek suaranya, seperti ledakan (BAROOM!), tinju (POW!), atau senapan mesin (BUDABUDABUDABUDA); tetapi komik Jepang dalam hal representasi suara jauh lebih kaya, karena mereka juga menciptakan suara mulut menyedot mi (SURU SURU), beberapa jenis suara hujan (ZA, BOTSUN BOTSUN, PARA PARA), ataupun suara jres korek api yang menjadi SHUBO. Kemudian, situasi tanpa bunyi pun bisa mereka representasikan melalui bunyi, seperti FU, ketika ninja menghilang di balik kelam; HIRA HIRA, ketika daun berguguran dari pohon; PO, ketika wajah seseorang memerah karena malu; bahkan SHIIIN untuk keadaan tanpa suara sama sekali. Perhatian kepada perincian ini begitu tinggi, sehingga bunyi susu tertuang ke kopi juga diberi efek khusus, yakni SURON.

Efek total dari semua itu adalah pembacaan cepat (speed reading). Berlawanan dengan komik Amerika, yang dibaca pelan untuk menikmati gambar serba rinci dan untuk menyerap informasi tercetak, komik Jepang itu hanya ditatap selintas saja (scanned). Artinya ini menuntut lebih dari pembaca, karena harus secara aktif mesti mencari simpulan-simpulan tiap halaman dan menafsirkannya dengan cepat. Pembaca muda Jepang menyapu halaman dengan matanya, bergerak maju-mundur, menyerap informasi dalam gambar dan menambahinya dengan informasi dari kata-kata tertulis. Menatap halaman sebagai keseluruhan mensyaratkan keterampilan, seperti menyedot mi panas dari sebuah mangkok dalam beberapa detik, tanpa mengunyahnya.

Demikian adanya ulasan secara ilmiah yang diungkapkan oleh Seno Gumira Ajidarma mengenai manga. Dalam buku Panji Tengkorak: Kebudayaan dalam Perbincangan juga dapat kita temui kajian mengenai komik Panji Tengkorak tahun 1968, 1985, dan 1996. Bagaimana kajian tersebut mengulas mulai dari politik identitas sampai bias gender. Tentunya kajian terhadap komik ini diperlukan untuk membedah karya, mengungkap karya, dan meluruhkan skeptisme bahwa komik hanya sekadar main-main serta kekanak-kanakan. Komik nyatanya dapat diteropong dalam berbagai sisi dan multifaset.