Jokowi dan Strategi Golkar

SHARE

Istimewa


CARAPANDANG.COM -  Golkar dikenal sebagai partai yang tidak pernah lepas dari lingkaran kekuasan. Dalam perpolitikan nasional, partai beringin tidak pernah menapakkan kakinya menjadi kekuatan oposisi.

Mereka memiliki alasan tersendiri bahwa Golkar dilahirkan sebagai partai karya ke karyaan yang memiliki arti bahwa Golkar harus senantiasa bersama pemerintah untuk ikut berkarya dalam proses pembangunan nasional. Sehingga “haram” hukumnya bagi Golkar untuk berada di luar kekuasaan.

Di luar kekuasaan atau menjadi kekuatan oposisi merupakan langkah yang kurang tepat bagi Golkar. Pasalnya dengan berada di luar kekuasan akan menghambat mereka dalam upaya ikut turut dalam mensukseskan pembangunan nasional.

Sempat Menjadi Oposisi

Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pada tahun 2014 merupakan pemilu yang paling dinamis dan paling “menegangkan”  sepanjang perpolitikan nasional pasca reformasi.  Dua pasangan Capres-Cawapres yang bertarung pada Pilpres 2014 yaitu Prabowo Subianto- Hatta Rajasa dan Joko Widodo- Jusuf Kalla menjadi pertarungan yang sangat sengit dan menguras energi anak bangsa.

Situasi politik saat itu dibilang sangat panas. Sebab anak bangsa terbelah menjadi dua kekuatan yang saling bertentangan. Kedua kekuatan tersebut saling serang baik dalam medan social media, maupun saling meluapkan kata-kata “kasar” dalam komunikasi secara langsung.

Yang paling miris, justru ini terjadi di kalangan masyarakat yang terdidik. Bukan masyarakat awam di akar rumput. Mereka saling serang dengan argumen yang menegaskan bahwa pasangan yang mereka pilih merupakan pasangan yang tepat untuk membangun bangsa yang lebih baik untuk lima tahun ke depan.

Bahkan penulis merasa dua kekuatan tersebut hingga saat ini masih terpisah pada dua kutub yang berbeda. Meskipun tidak sepanas pada waktu Pilres 2014.

Namun ini akan menjadi bom waktu pada 2019 jika nanti Pilres kembali hanya diikuti oleh dua calon, yakni Prabowo Subianto dan Joko Widodo. Ini yang harus diredam agar dua kekuatan ini tetap menjadi satu meski dalam dua pilihan politik yang berbeda.

Kembali terkait Golkar, pada masa-masa Pilpres 2014 di bawah kepemimpinan Abu Rizal Bakrie partai beringin berada dalam barisan koalisi pendukung pasangan Prabowo Subianto- Hatta Rajasa. Meskipun suara Golkar terbelah pada saat itu, dengan jaringan media yang dimiliki ARB, kekuatan Golkar dapat dikata dapat diperhitungkan untuk membangun opini masyarakat untuk menjatuhkan pilihan pada pasangan Prabowo-Hatta.

Dan akhirnya Pilpers 2014 dimenangkan pasangan Jokowi-JK. Inilah ujian besar mulai menerjang partai beringin.  Kursi ketua umum Partai Golkar Abu Rizal Bakrie digoyang. Partai Golkar terbelah menjadi dua kepemimpinan.

Kepemimpinan ARB yang Ingin tetap konsisten berada di luar kekuasan sebagai kekuatan pengontrol pemerintah sebagai partai oposisi. Sementara itu, kepemimpinan Agung Laksono yang menghendaki Golkar menjadi partai pendukung pemerintah.

Kedua kubu ini saling berseteru. Dan akhirnya digelarnya Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) yang melahirkan kepemimpinan baru yaitu Setya Novanto. Lahirnya kepemimpinan DPP Partai Golkar ini mengakhiri perseteruan dua kubu tersebut. Dan yang paling menarik akhirnya Golkar memutuskan kembali garis perjuangan partai dengan menjadi partai pendukung pemerintah.

Setelah menjadi Ketua Umum DPP Partai Golkar, Setnov terbilang melakukan gebrakan yang tidak pernah terbayangkan yaitu menjadi partai pertama yang mengusung Joko Widodo sebagai Calon Presiden dari Partai Golkar pada Pilpres 2014. Langkah ini, mendahului PDI Perjuangan yang notabenya partai pengusung utama Presiden Jokowi.

Keputusan Partai Golkar mencalonkan Joko Widodo sebagai Calon Presiden pada 2019 dinilai terlalu dini dan bagi penulis dukungan Golkar dibilang sangat pragmatis.  Pasalnya secara tegas partai Golkar mengatakan dengan mencalonkan Jokowi sebagai calon presiden dari Golkar menjadi berkah electoral. Dan hal tersebut terjawab dari sejumlah lembaga survei, tingkat elektabilitas terkerek naik pasca keputusan tersebut.  

Starategi Golkar

Keputusan Golkar mencalonkan Jokowi sebagai Calon Presiden 2019 menjadi strategi Golkar masuk dalam kekuasan. Hal tersebut terbukti kader partai Golkar masuk menjadi salah satu menteri di Kabinet Kerja, Airlangga Hartarto menjadi menteri Perindustiran.

Strategi ini terbilang berhasil, Presiden Jokowi semakin mesra dan sangat percaya terhadap Golkar. Misalnya Jokowi dalam janji politiknya tidak ada salah satu menterinya diperbolehkan merangkap jabatan, apalagi menempati posisi sebagai Ketua Umum Partai.

Namun saat perombakan menteri yang berlangsung hari ini, Rabu (17/1) posisi Airlangga tetap aman. Dan yang paling terlihat kedekatan antara Presiden Jokowi dan Partai Golkar saat keputusannya  menunjuk Sekjen Partai Golkar Idrus Marham sebagai Menteri Sosial menggantikan Khofifah Indar Parawansah yang akan turut bertarung di Pilkada Jawa Timur 2018.

Keputusan Jokowi mempertahankan Airlangga dan menunjuk Idrus sebagai Menteri Sosial menurut penulis merupakan adanya sinyal yang kuat, bahwa hubungan Presiden Jokowi dan Partai Golkar sangat hangat. Bahkan dengan kata lain penulis menilai bahwa Joko Widodo sangat percaya dengan partai Golkar.

Jika dicermati ini bisa menjadi sinyal yang kuat apakah Jokowi akan lebih nyaman dicalonkan sebagai Calon Presiden dari Partai Golkar. Atau akan tetap setia terhadap partai banteng yang telah berjasa membesarkan karir politiknya hingga menjadi presiden saat ini.

Seperti diketahui bersama, hingga saat ini partai pengusung utama Jokowi, PDI Perjuangan belum secara tegas menyatakan akan kembali mencalonkan Jokowi dalam pertarungan Pilpres 2019. Padahal partai-partai lain sudah secara tegas “menyandera” Jokowi  dengan menetapkan dirinya sebagai Calon Presiden. Misalnya Partai Nasdem, Hanura dan PPP.

Bagi penulis, langkah cepat partai-partai lain mengusung Jokowi sebagai calon presiden 2019 merupakan ancaman bagi PDI Perjuangan. Pada posisi ini Jokowi sebagai manusia biasa pasti akan  merasa di atas angin. Sehingga tidak membutuhkan PDI Perjuangan lagi untuk menajdi mesin politik menghantarkan kembali dirinya menjadi orang nomor satu di republik ini.

Terlebih pernyataan-pernyataan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Sukarno Putri yang beberapa kesempatan menegaskan bahwa Jokowi hanya sekedar petugas partai. Ini merupakan komunikasi yang akan membuat Jokowi semakin tidak nyaman di Partai Banteng tersebut.

Kita lihat nanti, apakah Jokowi akan tetap setiap berada di barisan partai Banteng. Atau malah keluar dan membangun kekuatan bersama partai-partai lain yang sejak awal telah mengusungnya sebagai calon presiden 2019.