Melihat Krisis Ukraina dan Psikologi Raksasa yang Terkepung

SHARE

Tentara Ukraina terlihat digelarkan di perbatasan Ukraina-Rusia dalam foto bertanggal 24 Januari 2022. Presiden Amerika Serikat Joe Biden berencana menggelarkan ribuan tentara, kapal perang dan pesawat tempur di Eropa timur dan negara-negara Baltik seirin


CARAPANDANG.COM - Rusia memang negara terluas di dunia, namun aksesnya ke laut lepas sangat terbatas.

Di Eropa, akses Rusia ke laut lepas di Laut Baltik dijepit negara-negara pakta pertahanan Atlantik Utara (NATO) dan negara-negara netral seperti Swedia dan Finlandia yang pernah terlibat perang singkat dengan Uni Soviet pada awal Perang Dunia kedua.

Di Laut Hitam, meski memiliki armada laut yang meraksasa, Rusia harus melalui Selat Bospurus yang masuk teritori Turki yang anggota NATO, untuk bisa mencapai Mediterania.

Di Pasifik, Rusia berhadapan dengan armada Pasifik Amerika Serikat yang merupakan armada laut terbesar di dunia dan juga Jepang yang pernah terlibat perang dengan Rusia dalam Perang Dunia Kedua dan Perang Rusia-Jepang pada 1904-1905.

Rusia hanya memiliki akses laut yang bebas di Arktik tetapi samudera ini membeku sepanjang tahun.

Hampir sepanjang sejarahnya Rusia berusaha mengatasi "perasaan terkepung" ini sampai kemudian terlibat konflik dengan hampir semua negara yang berbatasan darat dengannya, termasuk dengan China pada 1969.

Dan prilaku itu tak hilang sekalipun Uni Soviet runtuh pada Desember 1991 yang membuat 14 negara satelitnya memerdekakan diri.

Keempat belas negara itu adalah Belarus, Ukraina, Moldova, Lithuania, Latvia dan Estonia di Eropa timur; Azerbaijan, Armenia, dan Georgia di Transkaukasia; Kazakshtan, Uzbekistan, Turkmenistan, Tajikistan dan Kyrgystan di Asia Tengah.

Dan belakangan tahun ini, sejak Vladimir Putin berkuasa, Rusia semakin agresif.

Rusia memang pantas merasa dikepung, apalagi sebagian besar negara eks Soviet itu mendekati Barat untuk menjadi anggota Uni Eropa dan NATO.

Sebaliknya negara-negara eks Soviet itu pantas khawatir terhadap agresivitas Rusia yang puluhan tahun mendominasi mereka.

Rusia menggunakan segala instrumen untuk menekan mereka agar tidak mendekat ke Barat, termasuk intervensi militer sampai Georgia pun kehilangan Ossetia Selatan dan Abkhazia.

Hubungan Georgia dan Rusia menegang setelah pada 1994 Georgia menjadi anggota program Kemitraan untuk Perdamaian (PfP) yang diprakarsai NATO.

Georgia juga menggagas Organisasi untuk Demokrasi dan Pembangunan Ekonomi (GUAM) yang disepakati Juni 2001 oleh empat negara bekas Soviet; Georgia, Ukraina, Azerbaijan dan Moldova.

Tujuannya adalah mengendalikan pengaruh Rusia. Belakangan Uzbekistan masuk GUAM setelah diri keluar dari Organisasi Pakta Pertahanan Bersama (CSTO). Georgia dan Azerbaijan lebih dulu keluar dari CSTO.

Kini anggota CSTO adalah Rusia, Armenia, Kazakhstan, Kyrgystan, Tajikistan, dan Belarus.

Setelah Putin terpilih sebagai presiden Rusia pada 2000 dan saat bersamaan penguasa pro Barat berkuasa di Georgia pada 2003, hubungan kedua negara memburuk yang memuncak menjadi krisis diplomatik pada April 2008.

Empat bulan kemudian, krisis itu memuncak lagi menjadi perang terbuka antara Georgia melawan Rusia dan dua wilayah Georgia yang memisahkan diri (Ossetia Selatan dan Abkhazia).

Dua wilayah Georgia itu lepas dan lalu menyatakan diri republik merdeka yang diakui Rusia dan sejumlah kecil negara.

Halaman : 1