Membicarakan "Sindang Mardika", Aturan 200 Tahun Silam Untuk Atasi Pandemi

SHARE

Pemerhati budaya Melayu Bangka, Bambang Haryo Suseno. (istimewa)


CARAPANDANG.COM – Pemerhati budaya Melayu Bangka di Kabupaten Bangka Barat Bambang Haryo Suseno mengatakan ketentuan dalam "Sindang Mardika" cukup ampuh dalam penanganan pandemi di daerah itu pada masa lalu.

"Di masa pandemi ini, kita perlu belajar kembali ke nilai-nilai kearifan lokal yang sudah ada sejak masa lalu, Sindang Mardika yang pernah diterapkan di Pulau Bangka sekitar 200 tahun lalu, tampaknya menarik untuk dimaknai kembali terkait kondisi saat ini, dimana dunia sedang dalam ancaman COVID-19," kata Bambang Haryo Suseno di Mentok, Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Minggu (8/8/2021).

Ia menjelaskan, pada masa awal pemerintahan Sultan Ahmad Najamudin (1758-1777), Bangka di bawah Kesultanan Palembang Darussalam semakin ramai dengan pembukaan penambangan timah Bangka yang berhasil.

Pemimpin atas Bangka di Mentok Wan Akub yang bergelar Datuk Rangga Setia Agama, meninggal dan digantikan Rangga bernama Wan Usman. Wan Usman diangkat oleh Sultan sebagai Rangga atau kepala pemerintahan dari sekalian tanah Bangka.

Jabatan Rangga sama dengan kedudukan menteri di Palembang dengan gelar Datuk Aji Rangga Usman serta dikaruniai satu kopiah emas, satu keris, empat tombak dan satu tepak tanda sebagai Kepala Tanah Bangka.

Pada masa pelantikan Rangga Usman, Sultan memanggil semua patih dan batih pesirah tanah Bangka untuk memberikan mandat kepada Rangga (10 perkara/ketentuan) dan Batin Pesirah, Batin Pegandang dan Batin Kecil (45 perkara/ketentuan).

Ketentuan tersebut yang kemudian disebut "Sindang Mardika", sebuah hukum yang berlaku bagi seluruh tanah Bangka.

"Sindang Mardika bersumber dari aturan adat Bangka yang telah ada kemudian diperbaharui dan ditambah sesuai dengan aturan yang berlaku di Kesultanan Palembang Darussalam," katanya.

Salah satu ketentuan dalam aturan tersebut, yakni pada perkara ke-36, disebutkan "andainya ada penyakit keras atau sebab binatang buas di dalam kampung, maka itu kampung belum sampai itu perkara, maka itu kampung yang belum kena penyakit diberi tanda satu kayu yang terkupas di tengah jalan atau di tengah hutan yang mau masuk di kampungnya supaya jangan orang kampung yang punya penyakit masuk ke dalam dia punya kampung. Dan begitu juga jikalau melanggar segala kepercayaan atau pantangan yang kecil-kecil dari dia punya adat, maka kena denda 4 sampai 40 ringgit, terbagi kepada segala orang yang di dalam kampung".

"Pada ketentuan tersebut ternyata di Pulau Bangka sudah mengenal pembatasan kegiatan masyarakat atau karantina wilayah, seperti yang dilakukan pada saat ini dalam upaya pencegahan virus corona," kata Bambang.

Menurut dia, Pulau Bangka beberapa kali menderita akibat wabah penyakit, salah satunya dalam cerita Sultan Ratu Mahmud Badarudin I (pada awal abad 18) yang memerintahkan dukun dan pengiringnya membuat obat untuk masyarakat Belinyu yang diserang penyakit menular. Selanjutya, wabah penyakit cacar yang menyerang seluruh tanah Bangka pada masa Temenggung Kertamenggala (Abang Ismail).

Dalam kasus ini, pemerintah pada masa itu memberlakukan aturan Perkara ke-36 "Pengangkat Tempoh" dalam "Sindang Mardika" sebagai upaya preventif untuk mencegah penularan semakin meluas dan memastikan aturan tersebut dilaksanakan secara tegas. Bagi yang melanggar dikenakan denda dengan kewenangan pelaksanaan pemimpin lokal atau batin.

Selain upaya preventif, Sultan juga mengirimkan dukun dan tabib dengan membawa berbagai jenis obat dari Palembang untuk pemulihan dan pengobatan terhadap rakyat yang sudah telanjur sakit. Kemudian masyarakat lokal Bangka menerapkan beberapa ilmu pengobatan tradisional dan mantera, seperti pada komunitas adat orang Mapur-Bangka.

Menurut dia, pada masa lalu pemahaman dan pengetahuan pemimpin dan masyarakat lokal di Pulau Bangka sudah cukup tinggi untuk melakukan isolasi wilayah dalam jangka waktu tertentu sebagai bagian dari pertahanan komunal dari ancaman baik wabah maupun binatang buas berbahaya.

"Belajar dari kasus tersebut, pendekatan dalam peningkatan pemahaman budaya dan kearifan lokal perlu terus dilakukan untuk memudahkan pemerintah dalam pengendalian penularan COVID-19," katanya.

Agar semakin efektif dalam penanganan pandemi, perlu adanya gerakan nyata dalam meningkatkan kepercayaan publik dan kepatuhan terhadap aturan atau ketentuan agar imbauan pencegahan preventif untuk tidak berkumpul yang telah dikeluarkan diikuti oleh seluruh lapisan masyarakat.

"Pada kondisi saat ini dibutuhkan kerja sama solid dan efektif agar bisa bersama-sama melewati masa sulit seperti ini," katanya.