Nilai Perdagangan Turun, China Tetap Jadi Mitra Dagang Utama

SHARE

istimewa


CARAPANDANG - Nilai perdagangan Indonesia dengan China pada 2023 mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya, baik dari sisi ekspor maupun impor seiring penurunan harga komoditas kendati dari sisi volume masih membukukan peningkatan.

Nilai ekspor ke China pada 2023 tercatat mencapai 64,9 miliar dolar AS (1 dolar AS = Rp15.558), melemah 1,4 persen di tengah penurunan harga komoditas global.

Penurunan terbesar dicatat pada komoditas bijih logam, bahan kimia organik, dan alas kaki yang melambat hingga seperlima dari nilai yang dibukukan pada 2022.

Nilai ekspor beberapa komoditas unggulan seperti besi dan baja, batu bara hingga minyak kelapa sawit juga menyusut, kendati volumenya justru meningkat dua digit.

Di sisi lain, China tetap menjadi negara tujuan utama ekspor bagi Indonesia. "Kontribusi ekspor nonmigas ke China mencapai 25,66 persen, meningkat dari tahun sebelumnya (yang) hanya (tercatat) 23 persen," kata Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Pudji Ismartini, dalam konferensi pers di Jakarta pada Senin (15/1).

Terkait impor, Indonesia mencatat nilai pembelian barang dari China sebesar 62,9 miliar dolar AS pada tahun lalu, menurun 7,1 persen dari tahun sebelumnya akibat berkurangnya impor peralatan mekanis, perlengkapan elektronik hingga bahan kimia.

Penurunan kinerja perdagangan Indonesia tidak hanya terjadi dengan China tetapi dengan semua negara mitra dagang utama. Ekspor ke Amerika Serikat, Jepang, India dan Filipina pada tahun lalu bahkan anjlok lebih parah hingga dua digit, demikian juga dengan penurunan kinerja impor ke semua mitra dagang utama.

Seiring penurunan nilai perdagangan dengan China dan mitra dagang utama lainnya, total nilai ekspor Indonesia pada 2023 menyusut 11,3 persen sementara impor menurun 6,6 persen. Hal ini menyebabkan surplus perdagangan Indonesia menurun menjadi 36,9 miliar dolar AS dari rekor tertinggi sepanjang sejarah.

Ekonom dari Bank Danamon, Irman Faiz, menilai kinerja perdagangan tahun lalu masih mencatatkan surplus terutama karena batu bara dan minyak kelapa sawit, namun penurunan harga komoditas menyebabkan hal itu tidak setinggi pada tahun sebelumnya.

"Seiring dengan melemahnya perekonomian global, permintaan ekspor diperkirakan akan terus melambat dan diperburuk dengan menurunnya harga komoditas ekspor," tulis Faiz dalam catatannya usai perilisan data BPS.