“Pengabdi Setan” Jadi Alasan Joko Anwar Suka Dunia Film

SHARE

istimewa


SEMANGAT 5.CO - Kendati mengaku sempat tidak bisa tidur selama tiga hari, film asli Pengabdi Setan (1982) justru memantik keinginan Joko Anwar untuk menjadi pembuat film.

Selalu menyenangkan saat seseorang berhasil meraih mimpinya, terlebih ketika mimpi itu sudah terpendam begitu lama. Maka, bolehlah kita memberi selamat pada Joko Anwar yang berhasil mewujudkan mimpinya itu lewat film Pengabdi Setan (2017).

"Pengabdi Setan itu yang bikin gue ingin jadi film maker," ungkap sineas berusia 41 ini.

 Ya, Pengabdi Setan yang sedang tayang di bioskop Tanah Air merupakan film remake dengan judul serupa yang masyhur pada 1980-an. Joko Anwar mengaku sudah sedari dulu berkeinginan membuat ulang film bergenre horor tersebut.

Film ini memang semacam nostalgia bagi Joko. Menurut penuturannya, film asli Pengabdi Setan (1982) memberi pengalaman sinematik tak terlupakan. Atmosfer horornya terasa sangat kental.

“Tiga hari gue dibuat nggak bisa tidur,” kenangnya.

Berulangkali pria kelahiran Medan, 3 Januari 1976 itu mencoba meyakinkan rumah produksi Rapi Films untuk memberi hak kepadanya untuk me-remake Pengabdi Setan. Akhirnya, mereka pun mengizinkan.

"Sampai hari ini ia masih ingat dialog-dialognya, nama karakter, per scene dia masih ingat banget. Saya rasa nggak ada sutradara lain yang segitu passion-nya terhadap film ini," ujar produser dari Rapi Films, Sunil G Samtani, dalam video pembuatan Pengabdi Setan.

Menghadirkan latar waktu dan suasana tahun 36 tahun lalu ke dalam masa sekarang bukanlah perkara mudah. Segala sesuatunya harus detail, jangan sampai ada bagian yang "bocor", misalnya, tiba-tiba ada Al*hard lewat di latar film.

Namun, film berdurasi 108 menit garapan Joko tergolong rapi, termasuk tone warna, dialog, serta beberapa peralatan khas 1980-an. Radio transistor, motor dua tak, dan ranjang dengan rangka tabung besi adalah sejumlah properti yang membuat film ini tampil “alami”.

Selain mahal, Joko pun mengakui, membuat film Pengabdi Setan sedemikian rupa zadulnya bukanlah perkara gampang. Kesulitan terbesar adalah masalah dialog. Tara Basro, Bront Palarae, Endy Arfian, dan pemeran lain harus berdialog dengan “kalimat-kalimat formal” sebagaimana dialog film pada masa itu.

"Jadi, kami mengumpulkan rekaman tahun 1980-an, dengerin orang ngomong," tutupnya