Pentingnya Mendengar Pendapat Ahli Terkait Revisi UU Pemilu

SHARE

Parlemen


CARAPANDANG.COM - Anggota Komisi II DPR RI Mohamad Muraz menyarankan agar DPR dan pemerintah tidak langsung mengambil keputusan untuk tidak membahas revisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu namun terlebih dahulu meminta masukan dan pendapat dari para ahli, akademisi, dan masyarakat.

"Sebaiknya DPR dan pemerintah tidak langsung menghentikan pembahasan revisi UU Pemilu namun terlebih dahulu meminta pendapat ahli, akademisi, dan tokoh terkait perlu atau tidak dilakukan revisi," kata Muraz dalam diskusi yang diselenggarakan The Indonesian Institute bertajuk "Nasib UU Pemilu dan Masa Depan Demokrasi di Indonesia" secara virtual, Kamis.

Anggota Fraksi Partai Demokrat itu juga menyarankan agar DPR dan pemerintah melakukan survei terkait kesediaan masyarakat untuk mengikuti pemilu serentak pada tahun 2024. Menurut dia, perlu ditanyakan juga kepada masyarakat apakah bersedia berpartisipasi dalam pelaksanaan Pemilu 2024 yang akan diserentakkan antara Pemilu Presiden (Pilpres), Pemilu Legislatif (Pileg), dan Pilkada.

"Misalnya KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) apakah masih bersedia dengan format pemilu tersebut dan apakah masyarakat mau mencoblos," ujarnya.

Dia menjelaskan urgensi dilakukannya revisi UU Pemilu antara lain dalam pelaksanaan Pemilu 2019 telah menimbulkan kompleksitas, suara tidak sah tinggi, banyak suara terbuang, dan banyak petugas yang meninggal. Menurut dia, kompleksitas yang tinggi tersebut menyebabkan masyarakat hanya fokus pada surat suara untuk Pilpres.

"Di UU Pemilu, kelembagaan penyelenggara pemilu belum diatur secara berimbang sehingga butuh perhatian lagi," katanya.

Muraz juga menjelaskan, urgensi revisi UU Pemilu karena adanya Keputusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 tentang rekonstruksi keserentakan pemilu. Putusan MK tersebut menyebutkan enam varian model pemilu serentak untuk digagas oleh pengubah UU sesuai dengan ketentuan UUD 1945.

"Putusan MK itu sebagai dasar bagi legislatif dan pemerintah untuk menyusun kebijakan," ujarnya.

Dia menilai kalau pelaksanaan Pilkada 2024 dilakukan berdekatan dengan Pilpres dan Pileg, maka dikhawatirkan akan mengurangi kualitas demokrasi. Hal itu, menurut dia, karena publik tidak ada waktu banyak untuk meneliti, memilah, dan memilih calon yang berkualitas. Menurut dia, kalau Pilkada dilakukan pada 2024, maka pada tahun 2022 dan 2023 akan terjadi kekosongan sebanyak 278 jabatan kepala daerah karena diisi pejabat sementara yang masa tugasnya lebih dari dua tahun.

"Masa tenggang dua tahun itu cukup lama, menyebabkan kewenangan pejabat sementara kepala daerah menjadi terbatas dan ada kemungkinan pembangunan di daerah tidak sesuai kehendak rakyat," katanya.