PKS: Tinjau Ulangan Besaran Presidential Treshold

SHARE

Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid


CARAPANDANG.COM -  DPR dan pemerintah perlu  meninjau ulang pengaturan besaran ambang batas pencalonan presiden atau "presidential threshold" (PT) yang diatur dalam revisi UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Sebab  besaran PT yang sebesar 20 persen yang berlaku saat ini sudah dipraktikkan pada Pilpres tahun 2014 dan 2019, telah menimbulkan banyak dampak negatif.

Demikian  disampaikan Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid (HNW) dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (2/2). 

Hidayat mengatakan dengan PT yang sangat besar tersebut menghambat partai-partai lain yang memiliki kader terbaiknya untuk maju pada Pilpres. Dan ini juga masyarakat tidak memiliki banyak pilihan. Seperti pada Pilpres 2014 dan 2019 masyarakat disuguhkan hanya 2 pasang calon.

"PT yang sangat besar tersebut, pilihan capres yang tersedia semakin terbatas dan terbukti pada Pilpres 2014-2019 hanya dua pasangan calon yang memenuhi syarat bisa maju dalam Pilpres. Sehingga rakyat dipaksa tidak memiliki banyak pilihan, apalagi banyak tokoh Bangsa yang sangat layak memimpin Indonesia, tidak bisa dimajukan dalam kontestasi Pilpres karena tersandung dengan ketentuan tersebut," jelasnya.

Menurutnya dengan dua pasang calon pada Pilpres menimbulkan masalah serius yang lainya, yakni terjadinya pembelahan di masyarakat sejak dari tingkat rumah tangga hingga ke skala negara. Dia menilai kondisi yang dikhawatirkan akan sangat membahayakan harmoni, keutuhan dan kelanggengan NKRI.

"Memang tidak serta merta sebagaimana dikhawatirkan oleh tokoh yang mengajukan 'judicial review' ke MK agar 'presidential treshold' ditiadakan atau 0 persen, bahwa adanya pembatasan akan hadirkan pembelahan dan tidak adanya alternatif calon kepemimpinan nasional," ujarnya.

Menurut dia, faktanya di Pilpres tahun 2004 dan 2009 sudah diberlakukan "presidential treshold" sebesar 15 persen, dan menghadirkan alternatif calon Presiden yang cukup 5 kandidat di 2004 serta 3 kandidat di 2009. Dia menjelaskan, setelah dilaksanakan Pilpres tahun 2004 dan 2009, tidak terjadi pembelahan di masyarakat, sebagaimana terjadi pada Pilpres 2014 dan 2019, itu terjadi karena besaran PT disepakati di angka yang proporsional.

"Sekarang dengan perkembangan pengalaman Pilpres dan hasilnya serta tuntutan meluas dari masyarakat untuk hadirkan ketersediaan alternatif kandidat capres/cawapres. Karena itu wajar saja bila batasan syarat pengajuan capres yang lebih bisa mengakomodasi kedaulatan rakyat, semakin menjauhkan mereka dari keterbelahan, dan menguatkan praktik demokrasi di Indonesia," ujarnya.

HNW mengatakan dengan sudah diberlakukan-nya Pilpres serentak bersama dengan Pileg, maka wajar saja apabila Pemerintah dan DPR mempertimbangkan besaran "presidential treshold" sesuai dengan "electoral treshold" yang diberlakukan untuk Pileg seperti di Pileg 2019 sebesar 4 persen, yang kemungkinan akan naik, tapi tidak melebihi 5 persen.

Menurut dia, dengan semangat seperti itu diyakini akan memenuhi harapan rakyat dan terbuka alternatif calon pemimpin yang lebih banyak, sehingga tidak terjadi pengebirian kedaulatan rakyat, dan tidak mengulangi Pilpres yang membelah masyarakat lagi seperti dalam dua Pilpres sebelumnya.

Menurut HNW, pengaturan PT sebesar 4 atau 5 persen itu merupakan "win win solution" dan solusi proporsional yaitu ada pihak yang ingin tetap 20 persen dan ada pihak yang ingin PT dihapuskan sama sekali atau 0 persen. "Dengan didukung oleh partai yang berada di parlemen dengan minimal 4 persen atau 5 persen kursi, maka capres/cawapres membuktikan bahwa mereka mempunyai dukungan politik yang riil sebagaimana tergambar di parlemen,"katanya.