Sesat Pikir Penerapan PPKM

SHARE

Mahmuddin Muslim


CARAPANDANG.COM - Penambahan kasus Covid-19 yang kembali melambung di Indonesia, membuat pemerintah harus segera menerbitkan pelbagai kebijakan guna menekan laju warga yang terpapar. Tentu saja, upaya pemerintah ini patut kita dukung untuk kemaslahatan kita sebagai bangsa. Namun, Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat, terutama untuk daerah yang tinggi tingkat penularannya, seringkali implementasinya di lapangan “berasa” aneh.

Lihat saja, banyak drama-drama yang membuat kita miris. Acapkali masyarakat mesti “berdebat” dan berbenturan dengan petugas di jalanan. Kejadian-kejadian ini memang bisa diperdebatkan. Misalnya, soal perilaku petugas yang tegas agar masyarakat disiplin. Namun bisa juga petugas pelaksana tidak memahami secara utuh tujuan kebijakan pembatasan kegiatan masyarakat itu secara utuh.

Pandemi Covid-19  sudah lebih setahun menerpa negeri ini. Penerapan protokol kesehatan pun menjadi budaya baru dalam interaksi sosial di masyarakat kita. Karena memang virus ini hanya bisa dikendalikan dengan cara memutus rantai penularannya. Sebagaimana virus lainnya, Covid juga tidak ada obatnya., hanya imunitas tubuh yang bisa membuat kita bertahan, sampai virus menemui batas hidupnya.

PPKM merupakan upaya memutus rantai penularan Covid-19  agar tidak massif, sehingga yang terpapar bisa dirawat oleh rumah sakit dengan fasilitas dan tenaga kesehatan yang mencukupi. Pelayanan kesehatan tidak overload, sehingga tingkat kesembuhan pasien bisa meningkat, dan aktivitas sosial maupun ekonomi bisa kembali berjalan normal.

Memutus rantai penularan, kata kuncinya ada pada testing yang massif. Seseorang yang terpapar Covid-19, bisa diketahui secara pasti setelah melalui serangkaian tes yang umum kita kenal dengan swab antigen dan PCR. Mungkin bagi sebagian masyarakat, melakukan Swab antigen dan PCR bisa dilakukan secara mandiri dengan mendatangi klinik atau rumah sakit yang menyediakan layanan swab antigen dan Swab PCR (Polymerase Chain Reaction).

Tentu, dengan biaya yang beragam, tetapi hampir semua orang mengeluhkan betapa mahalnya biaya testing tersebut. Anehnya lagi, klinik dan rumah sakit bisa memberikan harga yang berbeda sesuai waktu terbitnya hasil testing tersebut. Jika ingin hasil cepat, ya.. biaya harganya juga lebih tinggi dibandingkan dengan yang membutuhkan waktu lama. Padahal pengambilan sampel dalam PCR itu dibawa ke laboratorium dan diperiksa disana. 

Seandainya kita bayar mahal, sampel kita akan diperiksa duluan. Langsung masuk laboratorium melewati sampel yang berbiaya murah. Ekspres, kira-kira begitu. Aneh bukan? Terus bagaimana dengan warga yang tidak mampu membayar biaya PCR? Bayangkan biaya PCR paling murah Rp900.000/orang. Jika satu keluarga terdapat 5 orang, tentu itu biaya yang sangat mahal dan pasti tidak terjangkau oleh mereka.

Untuk menyambung hidup saja, masih banyak warga kita yang bisa bertahan hidup sebulan dengan biaya hidup Rp1 juta. Masyarakat yang tidak mampu ini juga sangat rentan terpapar, karena aktivitas sehari-hari banyak berinteraksi dengan banyak orang. Jika demikian, pemutusan rantai penularan akan gagal, karena gagalnya kita dalam melakukan testing secara massif.

Mestinya pemerintah “memaksa” semua klinik/rumah sakit dan laboratorium untuk memberikan harga murah. Caranya ya pemerintah mengambil alih semua biaya operasional laboratorium tersebut agar memberikan layanan pada masyarakat. Dana operasionalisasi semua laboratorium bisa diambil dari penangangan Covid-19. Termasuk dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) bisa dialihkan sementara untuk biaya testing ini. Sehingga pemerintah bisa melakukan testing secara massif pada masyarakat secara gratis.

Tak perlu panik, jika data warga terpapar akan meningkat tinggi, selama pemerintah telah menyiapkan segala sesuatunya untuk menangani Covid-19 ini. Berbagi pengetahuan pada masyarakat melalui aneka saluran komunikasi akan membantu meringankan kerja-kerja pemerintah. Jika testingnya berjalan massif, maka program-program lain seperti vaksinasi juga bisa berjalan maksimal sehingga herd immunity bisa tercapai.

Jika herd immunity bisa tercapai, maka aktivitas warga bisa berjalan kembali. Sehingga aktivitas ekonomi bisa hidup, dan pemerintah bisa kembali memperoleh pajak dari masyarakat untuk menjalankan program-program pembangunan, pendidikan, kesehatan dan lain-lain.

Saat ini percuma saja pemerintah memberikan stimulus pada dunia usaha, karena aktivitas ekonomi tidak berjalan. Bantuan pemerintah pada UMKM sangatlah baik, namun tidak akan bermanfaat secara maksimal, karena usaha UMKM tidak berjalan normal karena masih ada pembatasan disana sini.

Demikian pula dunia usaha lainnya. Rata-rata mereka hanya bertahan saja, sembari mengurangi karyawan atau melakukan penghematan yang lain. Pemerintah jangan berharap dengan dana pemulihan ekonomi nasional akan bisa memperoleh penerimaan negara dari pajak. Bagaimana dunia usaha mau bayar pajak, jika untuk bertahan saja mereka sudah kelabakan.

Sebaiknya pemerintah fokus saja memutus rantai penularan secara massif melalui testing yang massif dan gratis serta melakukan vaksinasi lebih gencar lagi. Jika tidak, maka penularan Covid-19  akan terus seperti roller coaster di tengah kondisi negara lain yang masyarakatnya sudah bebas beraktivitas tanpa pembatasan-pembatasan.

Terbaru, masyarakat Eropa sudah tidak memakai masker lagi, mereka bebas nonton piala Eropa di stadion tanpa pembatasan. Karena mereka mampu melakukan testing dan vaksinasi secara massif. Kita yakin, pemerintah juga mampu melakukan sebagaimana negara-negara Eropa. Semoga…

Oleh: Mahmuddin Muslim
Penulis merupakan Ketua Pimpinan Pusat Baitul Muslimin Indonesia (PP Bamusi)