CARAPANDANG- Oleh: Ilham Bintang, Tokoh Pers Nasional
“Tugas Pers bukanlah untuk menjilat penguasa, tapi mengkritik orang yang sedang berkuasa". Itu ucapan terkenal tokoh pers pendiri Harian Kompas, PK Ojong ( 1920-1980). Ucapan itu sering dikutip dalam tulisan wartawan di media. Terutama pada momen peringatan Hari Pers Nasional.
Bagaimana sebaiknya peran pers di tengah kegaduhan politik di Tanah Air dewasa ini? Berbicara peran pers Indonesia memang tidak bisa dilepaskan dari pandangan mendalam PK Ojong itu. Sejarah pers Indonesia sendiri merupakan bagian integral dari perjuangan dan pembangunan bangsa.
Di negara yang demokrasinya maju, pers adalah pilar keempat setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Di Indonesia, sejarah pers kita dimulai saat pembentukan Kantor Berita "Antara" 13 Desember 1937. Masa itu berperan dalam rangka perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia, yang mencapai puncaknya dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Disusul dengan pembentukan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) wadah profesi wartawan pertama di Indonesia.
PWI dibentuk di Surakarta, pada 9 Februari 1946. Jangan lupa. Di masa itu meskipun kemerdekaan telah diproklamirkan oleh Soekarno -Hatta, namun Belanda baru mengakui kedaulatan Indonesia lebih empat tahun kemudian, 1949. Pembentukan PWI jelas sebuah keberanian para wartawan Indonesia untuk bersatu mengawal dan melindungi kemerdekaan RI. Seiring dengan perlawanan rakyat Indonesia terhadap kolonialisme Belanda.
Peran pers kemudian memang pernah terkooptasi di masa Orde Lama, juga di masa Orde Baru. Saat PWI sebagai institusi wartawan Indonesia terkooptasi, di masa Orba itu, sebagian wartawan melakukan perlawanan dengan membentuk Asosiasi Jurnalis Indonesia ( AJI) menjelang runtuhnya rezim Orde Baru.
Setelah Reformasi Mei 1998 Pers kembali menemukan jati dirinya. Yang sesuai diamanatkan konstitusi pasal 28 E, F UUD 1945. Sebagai payung pelaksanaan operasionalnya dibentuk UU Pers No 40/1999, salah satu produk reformasi bangsa di tahun itu. UU ini menutup akses pemerintah untuk campur tangan apalagi mengkooptasi kemerdekaan pers.
Halaman : 1
“Tugas Pers bukanlah untuk menjilat penguasa, tapi mengkritik orang yang sedang berkuasa". Itu ucapan terkenal tokoh pers pendiri Harian Kompas, PK Ojong ( 1920-1980). Ucapan itu sering dikutip dalam tulisan wartawan di media. Terutama pada momen peringatan Hari Pers Nasional.
Bagaimana sebaiknya peran pers di tengah kegaduhan politik di Tanah Air dewasa ini? Berbicara peran pers Indonesia memang tidak bisa dilepaskan dari pandangan mendalam PK Ojong itu. Sejarah pers Indonesia sendiri merupakan bagian integral dari perjuangan dan pembangunan bangsa.
Di negara yang demokrasinya maju, pers adalah pilar keempat setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Di Indonesia, sejarah pers kita dimulai saat pembentukan Kantor Berita "Antara" 13 Desember 1937. Masa itu berperan dalam rangka perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia, yang mencapai puncaknya dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Disusul dengan pembentukan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) wadah profesi wartawan pertama di Indonesia.
PWI dibentuk di Surakarta, pada 9 Februari 1946. Jangan lupa. Di masa itu meskipun kemerdekaan telah diproklamirkan oleh Soekarno -Hatta, namun Belanda baru mengakui kedaulatan Indonesia lebih empat tahun kemudian, 1949. Pembentukan PWI jelas sebuah keberanian para wartawan Indonesia untuk bersatu mengawal dan melindungi kemerdekaan RI. Seiring dengan perlawanan rakyat Indonesia terhadap kolonialisme Belanda.
Peran pers kemudian memang pernah terkooptasi di masa Orde Lama, juga di masa Orde Baru. Saat PWI sebagai institusi wartawan Indonesia terkooptasi, di masa Orba itu, sebagian wartawan melakukan perlawanan dengan membentuk Asosiasi Jurnalis Indonesia ( AJI) menjelang runtuhnya rezim Orde Baru.
Setelah Reformasi Mei 1998 Pers kembali menemukan jati dirinya. Yang sesuai diamanatkan konstitusi pasal 28 E, F UUD 1945. Sebagai payung pelaksanaan operasionalnya dibentuk UU Pers No 40/1999, salah satu produk reformasi bangsa di tahun itu. UU ini menutup akses pemerintah untuk campur tangan apalagi mengkooptasi kemerdekaan pers.