Upaya Selamatkan Perjanjian Nuklir 2015, Iran Minta Ini Ke AS

SHARE

istimewa


CARAPANDANG.COM - Iran meminta Amerika Serikat (AS) mencabut sanksi yang diterapkan kepada 1.500 individu sebagai bagian dari upaya menyelamatkan perjanjian nuklir 2015.

Dilansir dari Bloomberg, Wakil Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi mengatakan dalam sebuah wawancara dengan kantor berita ICANA yang dikelola pemerintah, tidak memberi penjelasan detail.

Namun pernyataan tersebut sejalan dengan permintaan Iran agar AS mencabut sanksi setelah Presiden Donald Trump keluar dari perjanjian dan menerapkan ratusan pinalti.

Para diplomat akan bertemu di Wina selama tiga pekan berturut-turut mulai Senin (26/4/2021) untuk mencoba menyelamatkan kesepakatan nuklir Iran dengan kekuatan dunia sering tenggat waktu sebelum dilakukannya perjanjian pemantauan sementara antara Teheran dan PBB di Badan Energi Atom Internasional.

Komentar Araghchi diikuti dengan pertemuan bersama parlemen mayoritasgaris keras Iran yang membahas kemajuan dalam perundingan Wina.

Banyak anggota parlemen menentang upaya Presiden Hassan Rouhani untuk menghidupkan kembali kesepakatan dan mencoba memengaruhi negosiasi. Arghchi tidak berkomentar tentang hasil pertemuan itu.

Sebelumnya pada Minggu (25/4/2021), Kepala Komisi Keamanan Nasional Mojtaba Zolnour mengatakan, dia memimpin upaya untuk mencegah pemulihan perjanjian nuklir tanpa persetujuan penuh dari parlemen dan mengatakan anggota parlemen harus hadir dalam pertemuan Wina, kantor berita semi resmi Tasnim melaporkan.

Uni Eropa akan memimpin perundingan Wina, di mana utusan khusus dari masing-masing pihak akan mencoba menyinkronkan kembalinya AS dan kepatuhan Iran dengan perjanjian 2015.

Setelah Trump mencabut perjanjian itu dan secara sepihak menjatuhkan sanksi hukuman terhadap Iran, pemerintah Teheran meningkatkan kapasitas nuklirnya dan produksi uraniumnya.

Araghchi mengatakan kembalinya AS pada perjanjian dan kepatuhan dari Iran tidak akan dilakukan dengan langkah demi langkah dan akan sejalan dengan tuntutan Republik Islam.