Wujudkan Netralitas PNS Demi Masa Depan Demokrasi Lebih Baik

SHARE

Ilustrasi (Net)


PNS sulit untuk menjaga netralitas, hal ini sangat dipengaruhi kepentingan pragmatis. Secara empiris, secara kasat mata, maka "musim Pilkada" bisa dianggap peluang bagi sementara PNS untuk mengubah nasib. Salah satu penyebabnya, eselon yang tersedia tidak seimbang dengan jumlah PNS yang memenuhi syarat menduduki jabatan. Atau, sudah menduduki jabatan, namun dirasa ingin menduduki jabatan yang lebih strategis. Salah satu solusi yang sulit dihindari, ya mengadu nasib, dengan tidak netral.

Tidak ada istilah bertepuk sebelah tangan, bertepuk pasti dua tangan. Maksudnya, pada saat bersamaan, terutama petahana yang kembali ikut bertarung di Pilkada atau pecah kongsi antara kepala daerah dengan wakilnya, masing-masing bertarung merebut jabatan kepala daerah. Bahkan ada daerah yang tingkat kompetisi pertarungan merebut jabatan kepala daerah bertambah panas karena sekretaris daerah ditambah pimpinan dewan menjadi peserta Pilkada.

Pada posisi ini hampir sulit bicara netralitas PNS untuk tidak terlibat atau dilibatkan pada proses Pilkada. Pada posisi semacam ini, PNS bisa berdiri pada situasi terlibat, melibatkan diri atau dilibatkan pihak yang berkepentingan karena sama-sama membutuhkan.

Calon kepala daerah butuh suara atau dukungan dari PNS. Mengapa? Karena PNS dipandang mampu menarik gerbong suara yang memang diperlukan untuk mendongkrak suara. Selain itu PNS dianggap memiliki kelas atau status sosial terpandang terutama di pedesaan, dan sering menjadi panutan di lingkungannya.

Sepertinya tidak adil atau fair ketika hanya PNS yang dituntut netral sementara pihak lain dalam hal ini peserta Pilkada yang ternyata memiliki otoritas nasib dan jenjang karier tidak pernah disorot. Maka muncul PNS tidak netral karena pimpinan tertinggi sebagai petahana kembali mencalonkan ikut Pilkada.

Di sinilah sama-sama diuji. Kepala daerah yang semestinya menjaga agar PNS netral malah mengajak, menarik bahkan meminta dan “memaksa” untuk mendukung dalam Pilkada.

Pada saat yang sama, PNS yang semula memiliki integritas, bisa goyah karena pesaing mencari jabatan atau tertarik dengan jabatan yang lebih menjanjikan bertindak tidak netral. Serba sulit. Diam, tidak melakukan manuver, tidak kebagian “kue”.

Maka tidak mengherankan bahkan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Tjahjo Kumolo, pada 23 Juni 2020 lalu, mengakui bahwa 70 persen PNS tidak netral dalam pilkada. Netralitas PNS dalam pilkada adalah harga mati yang harus ditegakkan. Namun tantangannya cukup berat. Apalagi ketidaknetralan PNS menguntungkan pemenang Pilkada.

Faktor penyebab

Halaman : 1