Zaadit Taqwa dalam Cara Pandang Alumnus UI

SHARE

UI (IDN Times)


CARAPANDANG.COM – ‘Jaket Kuning’ senantiasa hadir dalam bifurkasi politik Indonesia. Pada era Sukarno terdapat Arief Rahman Hakim yang menjadi martir dari Tritura yang diajukan kalangan mahasiswa. Pada era Soeharto ‘jaket kuning’ hadir dalam aksi demonstrasi menduduki gedung parlemen beserta tuntutan reformasi yang mengemuka.

Di era zaman now, ada Ketua BEM UI, Zaadit Taqwa yang mencuri perhatian publik dengan memberi kartu kuning kepada Presiden Joko Widodo pada acara Dies Natalis Universitas Indonesia. Lantas bagaimanakah cara pandang alumnus UI terhadap Zaadit Taqwa?

Jika menilik melalui akun facebook terdapat ragam pendapat mengenai aksi kartu kuning tersebut. Saya sendiri sebagai alumnus Ilmu Politik Universitas Indonesia membaca aneka pro dan kontra dari lini persahabatan di media sosial yang digagas Mark Zuckerberg tersebut.

Yang menarik diantaranya adalah dari Ahmad Fathul Bari. Sosok yang akrab dipanggil Ai ini merupakan sahabat saya sewaktu SD. Ai sendiri pernah menjabat sebagai Ketua BEM UI. Ia merupakan alumnus Ilmu Sejarah UI. Per tanggal 2 Februari, Ai mengganti profil picture-nya menjadi tangan yang sedang mengacungkan kartu kuning. Saya pun iseng melontarkan tanya.

“Gimana nih tanggapan ketua bem ui periode lalu terhadap kartu kuning dr ketua bem ui periode sekarang?” tanya saya.

Ai pun menjawab singkat, “Bagus. Kreatif..”

Lalu ada juga status dari dosen UI Sri Lestari Wahyuningroem. Dosen yang akrab dengan isu feminis, peristiwa 1965, dan kasus HAM ini membuat status di facebook sebagai berikut:

Tahu apa yang paling membuat saya takjub soal insiden kartu kuning BEM UI? Isu yang disampaikan sebagai kritikan mahasiswa kepada pemerintah adalah isu yang tak jauh berbeda yang disampaikan mahasiswa di era saya, 20 tahun yang lalu: ketidak adilan di beberapa wilayah di Indonesia (dulu di Timtim, Aceh dan Papua), peran ABRI (TNI dan Polri), dan represi terhadap kampus (mahasiswa). Lalu, sudah kemana reformasi yang kita teriakkan dua puluh tahun yang lalu itu?

Di luar itu, ketika uang kuliah dan beban perkuliahan yang mencekik serta birokrasi kampus yang otoriter membatasi ruang diskusi dan aksi mahasiswa, saya senang masih ada mahasiswa yang bisa kritis melihat persoalan sosial politik di sekitarnya. Artinya, mahasiswa, elit yang segelintir itu, masih mengalami kemewahan belajar teori, menganalisa, dan melakukan aksi untuk bersuara. Tahun 1960-an, ketika gerakan mahasiswa dipertanyakan, Ernest Mandel yang Marxis itu mungkin salah satu yang ngotot membela gerakan mahasiswa dengan menyatakan bahwa teori dan aksi tak mungkin dipisah, dan itulah esensi gerakan mahasiswa.

Tentu saja di Indonesia, memang musti lebih cermat lagi jika ingin menyimpulkan hal serupa, mengingat gerakan mahasiswa lebih sering dilihat sebagai aksi politik yang beririsan dengan kelompok yang oposisi terhadap sebuah rejim. Misalnya, Arief Budiman dulu pernah bilang, tanpa ada gerakan mahasiswa tahun 1966, penggantian kekuasaan dari Sukarno oleh Suharto akan terlihat semata-mata sebagai kudeta tentara (dan mahasiswa saat itu sepertinya demen dengan tentara, karena merekapun sempat melobi Sarwo Edhi untuk menggeser posisi Soeharto) karena memang tentaralah yang memndukung dan memfasilitasi mereka.

Kalau gerakan mahasiswa di tahun 90-an berhadapan dengan rejim yang secara telanjang merepresi rakyatnya, di masa sekarang mahasiswa berhadapan dengan hal-hal yang lebih kompleks, berikut represi teknologi informasi dan ekonomi, berjibaku dengan esai dan ujian supaya lulus tepat waktu empat tahun karena tak mampu mengharapkan orang tua membayar biaya kuliah yang jumlahnya mencapai belasan hingga puluhan juta tiap semester. Karena itulah saya senang mereka masih bisa bicara di luar kondisi mereka, meskipun saya juga menyesali bahwa isu penting yang jadi hak mereka juga tidak dibicarakan: pendidikan murah dan berkualitas!

Apakah mereka diperalat oleh kelompok kanan yang anti-Jokowi? Saya tidak tahu, tapi saya tahu sebagian dari mereka (BEM dari beberapa Fakultas), dan mereka percaya bahwa kelompok LGBT punya hak yang sama dengan warga negara lainnya, begitupun minoritas agama. Merekapun gerah dengan isu PKI Gaya Baru yang dipakai elit-elit politik yang hanay menjauhkan negara ini dari kewajibannya menyelesaikan beban sejarah bangsa ini.

Tapi, lagi-lagi, setelah 20 tahun reformasi, tetap isu yang sama yang diangkat mahasiswa, tidakkah kita melihat ada sesuatu yang salah di sana?

Kemudian di kolom komentar ada yang menanggapi dengan pernyataan sebagai berikut, “Kampus2 skrg sudah tidak murni lagi, bebas dari partai politik. Sudah menjadi rahasia umum PKS sudah menancapkan kuku di berbagai kampus di Indonesia.”

Sri Lestari Wahyuningroem yang akrab dipanggil Mbak Lewe ini kemudian menanggapi di akun facebook-nya, “Tahun 97-98 gerakan mhsw juga dituduh ditunggangi. Aku ingat merasa sangat tersinggung karena undermining intelektualitas dan idealisme perjuangan wkt itu. Ya mmng PKS sdh lama infiltrate di kampus2, tp banyak juga mahasiswa yg tetap kritis bahkan terhadap propaganda2 menggunakan agama. Intinya, gak bisa juga buru2 menghakimi, mahasiswa punya nalar kritis juga yg tdk bisa kita undermine,” tulisnya.