770 Ekor Merpati dalam Festival Desa Bendoarum di Bondowoso

SHARE

Istimewa


Hiburan warga

Seusai pelepasan merpati, warga yang berkumpul di lapangan desa, kemudian pulang ke rumah masing-masing. Lapangan di pinggir jalan desa itu saat menjelang waktu maghrib kemudian sepi dan yang tinggal hanyalah penjual makanan serta minuman bersama dengan panitia yang menyiapkan arena pementasan di malam hari.

Sekira pukul 19:00 lapangan Desa Bendoarum mulai kembali ramai. Sekira 30 menit kemudian kegiatan hiburan dimulai, yang diawali dengan penampilan dua macan-macanan memasuki arena diiringi alunan musik gamelan. Kalau secara umum Kabupaten Bondowoso memiliki tradisi Singowulung dengan penampilan macan-macanan putih, maka macan-macanan dari Bendoarum ini berbeda.

Abduh, salah satu penggerak pemuda desa bercerita bahwa macan-macanan ini memang khas Desa Bendoarum alias tidak sama dengan tradisi Singowulung. Tradisi Singowulung yang kini menjadi ikon budaya Bondowoso diambil dari sejarah pendiri Desa Blimbing, Kecamatan Klabang. Singa putih itu, dalam cerita lisan merupakan penjelmaan tokoh desa bernama Kiai Singo Wulu.

Sementara macan-macanan dari Desa Bendoarum merupakan wujud penghargaan dan mengenang ketokohan sesepuh desa setempat bernama Ki Demang Pardi. Ki Demang Pardi merupakan tokoh yang sangat ditakuti oleh Belanda karena setiap berperang melawan tentara penjajah, ia selalu didampingi oleh dua harimau.

Penampilan macan-macanan dalam festival itu cukup sederhana. Setiap satu macan-macanan dimainkan oleh dua orang, yang bagian depan menjadi pemegang kepala yang bisa mengatup-ngatupkan mulut macan dan pemain bagian belakang (ekor).

Kedua macan-macanan itu berjalan di arena tanpa panggung itu sambil sesekali mendekati penonton dengan membuka mulutnya. Bagi anak kecil, penampilan dua "harimau" itu sudah menjadi hiburan yang meriah, meskipun di antara mereka ada yang mengekspresikan ketakutan saat mereka didekati dan si "harimau" mengatupkan mulutnya.

Festival tahun ketiga itu bertema "Openin, Kemanin". Kedua kata itu berasal dari Bahasa Madura yang merupakan bahasa ibu warga Kabupaten Bondowoso, dengan makna "pelihara, sayangi".

Lewat tema itu, penyelenggara festival berharap warga Desa Bendoarum dan Bondowoso pada umumnya punya semangat memelihara dan menyayangi kekayaan budaya yang ada di daerahnya masing-masing.

Selain, kesenian tradisional, festival yang mengambil momentum peringatan HUT Kemerdekaan RI itu juga dimeriahkan dengan penampilan anak-anak sekolah, khususnya taman-kanak-kanak, mulai dari menari hingga peragaan busana. Malam festival juga diisi dengan penampilan tarian yang diambil dari fragmen cerita Panji oleh siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMKN) 1 Sumberwringin, Bondowoso.

Meriahnya Festival Bendoarum itu menunjukkan bahwa daya tarik kesenian tradisional masih "laku" di tengah masyarakat yang saat ini sudah "dikepung" oleh hiburan lewat dunia maya, khususnya via telepon seluler.

Kekhawatiran bahwa kesenian tradisional akan mati digantikan oleh hiburan modern lewat layar HP tampaknya tidak menemukan bukti, apalagi jika festival desa itu dikemas dengan lebih bagus. Bahkan, sangat mungkin kekayaan budaya di desa itu akan menjadi bagian dari kalender wisata yang akan menyedot wisatawan, baik lokal maupun asing untuk datang.
 

Halaman : 1