Apakah Kekalahan MU Karena Kesalahan Solksjaer?

SHARE

Istimewa


CARAPANDANG.COM – Kinerja Ronald Koeman, Mark van Bommel dan Ole Gunnar Solksjaer sebenarnya agak mirip, tapi nasib mereka berbeda.

Dua yang pertama sudah dipecat oleh Barcelona dan Wolfsburg, sementara Solksjaer masih diberi kesempatan oleh Manchester United yang kabarnya sampai pertandingan liga di kandang Tottenham Hotspur akhir pekan ini.

Dari sepuluh pertandingan pertama LaLiga, Barcelona sudah tiga kali kalah. Total kekalahan jika digabung dengan Liga Champions adalah lima kali.

Jumlah itu sama dengan Solksjaer, tapi Koeman masih lebih baik karena Barca mengalami tiga kekalahan setelah menjalani sepuluh pertandingan, sedangkan Solksjaer melakukannya setelah memainkan sembilan pertandingan.

Koeman pun lebih baik jika melihat gol kemasukan dari tiga kekalahan itu. MU kebobolan 10 gol, sedangkan Barca cuma 5 gol.

Namun dalam Liga Champions, Solksjaer relatif lebih baik karena MU menang dua kali dan sekali kalah, sebaliknya Barcelona kalah dua kali dan menang sekali.

Dibandingkan dengan Mark van Bommel pun Solksjaer tidak lebih baik. Wolfsburg juga total menelan lima kekalahan selama musim ini yang tiga di antaranya dari pertandingan liga.

Dan sama dengan Barca, catatan kebobolan Wolfsburg lebih baik ketimbang MU karena “hanya” kemasukan delapan gol.

Seperti halnya MU, Wolfsburg juga sudah terlempar dari piala liga. Di panggung Liga Champions, Wolfsburg juga tak terlalu buruk setelah memetik dua seri dan sekali kalah.

Namun hirarki Barcelona dan Wolfsburg sudah tak bisa memberikan waktu sampai situasi membaik sehingga mereka pun memecat Koeman dan van Bommel begitu kalah untuk ketiga kalinya dalam pertandingan liga sekalipun kedua klub tak pernah kalah 0-5 seperti dialami Man United.

Solskjaer boleh dibilang beruntung. Dan ini bukan kali pertama dia menghadapi situasi krisis karena musim lalu setelah kalah besar 1-6 dari Tottenham Hotspur pun pernah mengalaminya.

Namun waktu itu orang lebih melampiaskan kesalahan kepada pemain.

Kini, setelah sukses mendatangkan tiga pemain kelas atas Jadon Sancho, Raphael Varane dan Cristiano Ronaldo yang membuat ekspektasi mendadak meninggi, setiap krisis muncul maka sorotan tertuju kepada Solksjaer si pengelola skuad dan peracik taktik.

Dia juga dikritik mengenai caranya menyeleksi pemain mana yang harus menjadi starter dan mana yang harus memulai dari bangku cadangan. Dan seperti musim lalu, Solksjaer tak bisa memanfaatkan momentum dan tak bisa membuat skuadnya tampil konsisten.

Pemain-pemainnya sendiri pun ikut mengkritik strategi dan visinya du lapangan, sampai-sampai gelandang Paul Pogba mengatakan ‘ada hal yang harus diubah’ dari MU.

Fondasi lemah

Ketika United nyaris kalah di Old Trafford dari Atalanta pada pertandingan Liga Champions, banyak yang terpesona oleh cara klub ini membalikkan laga ini. Namun sejumlah orang termasuk legenda Setan Merah Paul Scholes malah tak terkesan.

Scholes beranggapan jika MU melawan tim-tim kuat seperti Liverpool dengan bermain seperti mereka menghadapi Atalanta pada babak pertama laga Liga Champions itu, maka jangan harap ada pembalikan karena yang terjadi justru gawang MU yang akan habis diberondong tim-tim sekuat Liverpool.

Solksjaer bergeming. Saat pertandingan berikutnya melawan Liverpool dalam kompetisi liga, dia kembali menurunkan 11 pemain pertama yang sama persis dengan formasi yang dia pasang saat menghadapi Atalanta.

Hasilnya, Liverpool mengoyak gawang MU empat kali selama babak pertama. Ramalan Scholes terbukti. Beruntung, Liverpool tak mau mempermalukan lawannya terlalu dalam dengan bermain alakadarnya setelah MU kehilangan satu pemain pada babak kedua.

Tapi sejak kekalahan besar melawan Liverpool itu, pemain menjadi lebih terbuka menyerang Solksjaer. Ada yang mempertanyakan taktiknya, ada yang menguliti favoritisme kepada sejumlah pemain yang berkinerja buruk sampai mempertanyakan posisi Harry Maguire sebagai kapten ketika bek tengah ini sering menjadi biang keladi banyaknya gol yang bersarang ke gawang MU sejauh ini.

Solksjaer sendiri bukan pelatih yang berprinsip "jangan ubah tim pemenang" karena dia sering mengubah susunan pemain sekalipun skuad yang sama sudah memberikan poin penuh kepada Setan Merah.

Akibatnya, pemain-pemain MU merasa tidak memiliki jaminan karena sebagus apa pun mereka tampil, bukan garansi bakal dipasang kembali oleh si manajer.

Kegamangan ini membuat kohesi dan kolektivitas mengendur dalam skuad MU, yang berpuncak saat laga melawan Liverpool itu.

Sejumlah kalangan menyebut Setan Merah lebih merupakan tim yang menghimpun pemain-pemain egois yang berlomba menunjukkan diri lebih baik, terutama setelah salah satu pesepakbola terbesar era ini, Cristiano Ronaldo, bergabung dengan mereka.

Di lain hal, harga mahal dan CV yang bagus saat bersama klub-klub sebelumnya seperti dimiliki Jadon Sancho dan Donny van De Beek pun bukan jaminan, karena mereka malah sering sama sekali tak dimainkan.

Akibatnya, melawan tim sekuat, sekompak dan sesolid Liverpool, skuad egoistis itu bagai bangunan berfondasi lemah sehingga begitu mudah dirobohkan.

Bayangkan, bagaimana jika kekalahan 0-5 itu terjadi pada masa Alex Ferguson atau Jose Mourinho. Kedua orang ini bakal marah sejadi-jadinya, kalau perlu menendang apa pun yang ada di depannya ke arah pemain, seperti dilakukan Ferguson terhadap David Beckham dulu.

Tapi kini, yang terjadi malah pemain bersembunyi di belakang ketidakmampuan Solksjaer merehabilitasi barisan pertahanan dan dalam menjawab kritik atas pola seleksi pemain, visi dan strategi bermain.
 

Halaman : 1