Apakah Kekalahan MU Karena Kesalahan Solksjaer?

SHARE

Istimewa


Solskjaer sendiri terlalu mempercayai pemain-pemainnya, sebaliknya sebagian pemainnya tidak pandai menjaga kepercayaan itu. Padahal pemain juga semestinya jujur terhadap performa mereka sejauh ini.

Tak seperti Frank Lampard sebelum dipecat Chelsea, Solksjaer tak pernah mengkritik pemainnya di depan publik. Sebaliknya, seperti terhadap Jose Mourinho dulu, pemain-pemain seperti Paul Pogba malah berani mengkritik Solksjaer dan tak seluruh hatinya tertambat kepada United.

Target rendah

Mungkin karena sikap Solksjaer seperti itu, hirarki MU enggan cepat menghakimi Solksjaer, lagi pula dia tidak semenuntut Louis van Gaal atau Mourinho. Solksjaer juga tak pernah membuka borok skuad atau hirarki klub.

Jadi, apakah semua ini salah Solksjaer seorang?

Ternyata, di mata para pendukung fanatik MU, yakni mereka yang rela memenuhi Old Trafford, Solksjaer tak terlalu dilihat sebagai masalah.

Mereka malah menyoroti komitmen keluarga Glazer yang menjadi pemilik Manchester United dan Wakil Kepala Eksekutif Ed Woodward yang April lalu menyatakan akan mundur tetapi ternyata omong besar belaka.

Sejak dikuasai penuh oleh keluarga Glazer pada 2015, United tak pernah menjuarai liga, bahkan pernah absen dari Liga Champions. Tapi yang menjadi sasaran kemarahan adalah manajer-manajer saat itu, yakni David Moyes, van Gaal dan Mourinho.

Woodward yang bukan dari ekosistem sepak bola melainkan berlatar belakang bankir, dan keluarga Glazer sendiri, menetapkan target yang tidak ambisius untuk klub sekaliber MU, yakni cukup finis empat besar liga dan masuk Liga Champions.

Alhasil Setan Merah pun menjadi tim medioker. Mereka tak seambisius pelatih, pemain dan suporternya karena pikiran mereka tidak tercurah kepada sepak bola, melainkan aliran uang semata, sampai-sampai Antonio Conte yang santer disebut bakal menggantikan Solksjaer meminta syarat adanya komitmen kuat menjuarai liga dan Liga Champions seandainya klub itu merekrut dia.

Bayangkan, dalam pertandingan sebesar dan sepenting melawan Liverpool pekan lalu itu, tak ada seorang pun anggota Keluarga Glazer dan juga Woodward yang hadir di Old Trafford. Ini pasti tak akan pernah dilakukan pemilik Chelsea Roman Abramovich, bos Manchester City Khaldoon Al Mubarak atau Nasser Al-Khelaifi dari Paris Saint Germain.

Wajar jika keluarga Glazer terus disorot pendukung, terutama setelah Setan Merah tak pernah bisa menandingi musuh sekota Man City yang sepuluh tahun lalu terbilang medioker dibandingkan Man United.

Keluarga ini pun konstan ditekan suporter MU agar menjual sahamnya.

Beberapa pihak berusaha membelinya agar keluarga Glazer tak lagi mayoritas, tapi setiap kali itu pula dihalangi oleh harga selangit sehingga investor termasuk sekelompok pendukung United kaya raya dalam konsorsium “Red Knights” tak kuat memenuhinya.

Glazer membeli MU bukan dari uangnya sendiri, melainkan dari uang pinjaman, sehingga selain kaya raya MU terus dililit utang menggunung yang di sisi lain kian memberatkan mereka yang ingin mengakuisisi United.

Sekalinya ada yang sanggup membayar berapa pun yang diminta keluarga Glazer, tepatnya Putra Mahkota Kerajaan Arab Saudi Mohammed bin Salman, keluarga ini menyatakan tak berniat menjual United.

Oleh karena itu, pertandingan melawan Tottenham nanti itu bukan saja tentang bagaimana Solksjaer belajar dari kekeliruan-kekeliruannya, tapi juga bagaimana suporter melihat kembali posisi pemilik MU.

Bukan hal tak mungkin kejadian awal Mei lalu tatkala suporter MU menduduki Old Trafford sebelum kickoff laga melawan Liverpool karena memprotes pemilik klub menyusul inklusi MU dalam proyek kontroversial Liga Super Eropa, terjadi kembali suatu waktu nanti.

Dan sepertinya tak ada solusi instan untuk MU.

Halaman : 1