Melihat Krisis Ukraina dan Psikologi Raksasa yang Terkepung

SHARE

Tentara Ukraina terlihat digelarkan di perbatasan Ukraina-Rusia dalam foto bertanggal 24 Januari 2022. Presiden Amerika Serikat Joe Biden berencana menggelarkan ribuan tentara, kapal perang dan pesawat tempur di Eropa timur dan negara-negara Baltik seirin


Merasa dikhianati

Georgia bukan yang terakhir yang diusili Rusia yang menganggap semua perubahan orientasi politik negara-negara bekas Soviet adalah akibat ekspansi pengaruh yang agresif dari Barat.

Rusia merasa Barat telah mengkhianati komitmen mereka ketika Soviet bubar akhir 1991.

Waktu itu pemimpin terakhir Soviet, Mikhail Gorbachev, mendapatkan jaminan bahwa Barat tak akan memanfaatkan penarikan pasukan Soviet dari Eropa tengah dan timur.

Barat memang ingin memperluas NATO, tetapi konteksnya adalah dalam rangka menyatukan Jerman Timur dan Jerman Barat.

Namun setelah NATO menerima Ceko, Hungaria dan Polandia sebagai anggotanya pada 1999, Rusia kian merasa dikhianati Barat. Mereka menilai Barat telah mengingkari janji tak memperluas keanggotaan NATO ke negara-negara bekas Soviet.

Perasaan dikhianati dan dikepung itu kian menjadi manakala Lithuania, Latvia dan Estonia menjadi anggota NATO pada 29 Maret 2004 dan Uni Eropa pada 1 Mei 2004.

Padahal semua negara yang bergabung dengan NATO dan Uni Eropa ini melakukan hal itu karena terancam oleh Rusia dan ingin keluar dari bayang hegemoni Rusia, selain berusaha mendapatkan akses ekonomi Barat.

Alasan itu pula yang dipakai Ukraina dan Georgia ketika mendekatkan diri kepada NATO dan Uni Eropa. Pun demikian dengan Azerbaijan.

Tetapi pemerintahan-pemerintahan pro Barat di Ukraina dan Georgia baru muncul setelah Putin berkuasa di Rusia. Alhasil hasrat mereka untuk masuk komunitas Eropa dihadang oleh pemimpin Rusia yang paling menentang reorientasi politik negara-negara eks Soviet ke Barat.

Keinginan Ukraina untuk bergabung dengan Uni Eropa bahkan berujung gerakan sipil yang dimulai pada 21 November 2013 ketika presiden saat itu Viktor Yanukovych menunda implementasi kesepakatan hubungan dengan Uni Eropa.

Langkah ini memicu protes luas yang berubah menjadi gerakan sipil yang menumbangkan Yanukovych pada Februari 2014.

Gerakan sipil itu memicu gerakan massa balasan dari wilayah timur dan selatan Ukraina yang berpenduduk mayoritas etnis Rusia, termasuk Semenanjung Krimea di mana armada Luat Hitam Rusia berpangkalan.

Rusia lalu menganeksasi Krimea pada Maret 2014. Sebulan kemudian pecah demonstrasi pro-Rusia di Donbas yang berubah menjadi perang saudara yang meluas hingga Donetsk dan Luhansk yang berpenduduk mayoritas etnis Rusia.

Pada 2015 dicapai gencatan senjata yang meredakan ketegangan di Ukraina timur, namun beberapa lama kemudian Rusia aktif menggelarkan pasukan di sepanjang perbatasan Ukraina.

Situasi memanas lagi akhir Oktober 2021 ketika militer Ukraina menggunakan drone bersenjata untuk menghancurkan sebuah howitzer yang dioperasikan separatis Ukraina.

Rusia menyebut serangan drone itu melanggar gencatan senjata 2015. Pernyataan ini memicu kekhawatiran bahwa Rusia bakal segera menginvasi Ukraina.

Putin sendiri menyebut penggelaran pasukannya di perbatasan Ukraina adalah jawaban untuk semakin dalamnya kemitraan Ukraina dengan NATO.

Rusia pun mengepung Ukraina dari tiga penjuru; timur, selatan dan utara di Belarus.

Barat terusik. Mereka bersumpah akan menjatuhkan sanksi kepada Putin jika memerintahkan invasi ke Ukraina, dan mengancam Belarus jika sampai menyediakan wilayahnya untuk invasi Rusia ke Ukraina.

Halaman : 1