NasDem Merdekakan Perempuan dan Anak

SHARE

Ilustrasi


Ganjaran besar dari pekerjaan berat tersebut. Lantas ketaatan religius apa sehingga membuat partai NasDem begitu kekeh, tak luput (tetap terus) berjuang golkan UU TPKS? Pastilah jawabannya teramat diskursus ideologis.

Saya sendiri meyakini, NasDem berpegang di atas prinsip, bahwa yang fundamental, atau jantung dari politik adalah tidak sesederhana hanya memunculkan kesadaran kolektif (nafsu politik). Tetapi melainkan kesadaran yang secara inheren dengan keterbatasan-keterbatasan harus diujicobakan dalam tindakan politik dan memainkan peranan besar untuk kepentingan rakyat.

Yang tak kalah penting diketahui selain mata rantai hubungan mesra NasDem dengan UU TPKS. Mana mungkin bisa mengelak dari protes tajam berbagai kalangan, bahwa yang diproduksi parlemen selama ini terkadang banyak sekali UU yang fungsi “temporal”.

Sementara UU TPKS? Mencakup aspek kehidupan ke depan yang tak dapat dikalkulasi sampai kapan akan kadaluwarsa.

Level kualitas tersebut menjadi benar bahwa “tidak hanya bersejarah, ikhtiar UU TPKS adalah peletakan batu peradaban Indonesia”, kata Willy Aditya pada saat membacakan laporan Panja. Semacam adagium itu sangat relevan, jika ingin energi bumi (negara) berkelanjutan. Atau pernyataan substansialistik! Sebab yang harus di urus dan diwariskan adalah perempuan dan anak yang merdeka menjadi asetnya.

Pendek kata, disamping masyarakat terpuaskan kegemilangan sahnya UU TPKS. Dan fraksi NasDem mempertahankan miniatur virtue sebagai modal kepeloporannya yang menonjol.

Ketertarikan kita pada capaian di parlemen, selanjutnya adalah semua fraksi-fraksi lain tak lama kemudian (berlomba-lomba) mematenkan segera RUU-RUU yang mengorentasikan kemerdekaan masyarakat.

Anggap saja kualitas UU TPKS sebagai cikal-bakal perjumpaan relasi politik kebaruan partai-partai politik dengan publik (rakyat Indonesia). Antara fraksi-fraksi saatnya kini bangun panggung konfrontasi hal-hal yang bermutu.

Maksudnya, luapan kegembiraan lantaran keberhasilan wujudkan adab (pemenuhan – perlindungan) hak-hak perempuan dan anak melalui UU TPKS ini telah tercipta. Sejatinya kita tidak juga berarti mengamini saja segmentasi politik yang menjengkelkan hati.

Yakni tradisi rekayasa, sikap pragmatisme pengakuan diri sebagai bagian dari pejuang, padahal sebelumnya acuh bahkan menghindar balik badan membahas RUU TPKS. Kini mereka ikut nebeng menikmati popularitas semu dengan memunggungi kenyataan babakan sejarah UU TPKS.

Meski kita memahami atau tak memungkiri takaran keterlibatan fraksi-fraksi, stakeholder lainnya serta seluruh masyarakat sipil. Kita pun memang sama-sama tahu politik klasik di gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak mengenal ‘sikap netral’ atau politik ‘kesamaan nasib’. Wallahualam.

Halaman : 1