Penurunan Polusi Udara Di Sejumlah Negara Saat Pandemi Corona

SHARE

istimewa


CARAPANDANG.COM- Membaiknya kualitas udara dan lingkungan global, merupakan dampak tak terduga dari melemahnya ekonomi akibat pandemi Virus Corona COVID-19. Virus ini telah mendorong roda ekonomi global hingga hampir berhenti ketika pandemi melanda dunia.

Banyaknya pabrik-pabrik tutup dan mobil-mobil yang terparkir di garasi, membuat polusi udara mereda di sejumlah kota dunia. Seperti di Ibu Kota China, Beijing, yang dikenal karena tingkat polusi beracun yang mencekik paru-paru, memiliki pemandangan langit cerah yang tidak biasa karena pabrik-pabrik di kawasan itu menghentikan produksinya.

Gambar satelit dari Badan Antariksa Eropa (ESA) menunjukkan berkurangnya tingkat nitrogen dioksida, produk sampingan dari pembakaran bahan bakar fosil yang menyebabkan masalah pernapasan. Pemandangan itu tampak di seluruh kota besar di benua itu termasuk Paris, Madrid, dan Roma ketika negara-negara terkunci atau lockdown dan membatasi perjalanan mencegah penyebaran COVID-19.

Kota-kota di seluruh Amerika Serikat juga telah mengalami efek yang sama ketika warganya tinggal di rumah pada kota-kota yang rawan macet seperti Los Angeles dan New York.

Di China, penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia, emisi karbon dioksida turun seperempatnya pada pertengahan Februari dibanding beberapa pekan sebelumnya, menurut analisis yang diterbitkan dalam Carbon Brief. Para ilmuwan mencatat penurunan serupa di polutan lain seperti nitrogen dioksida dan partikel di negara itu, yang telah bertahun-tahun berusaha membersihkan udara yang tersumbat asap.

"Dalam hal pergeseran atau perubahan yang benar-benar terjadi dalam semalam, ini sangat dramatis," kata Lauri Myllyvirta, penulis laporan Carbon Brief dan analis utama di Pusat Penelitian Energi dan Udara Bersih.

Secara teori, penurunan tajam dalam polusi dan emisi karbon ini merupakan perkembangan positif bagi Bumi dan manusia yang hidup di dalamnya. Polusi udara berkontribusi terhadap jutaan kematian di seluruh dunia setiap tahun, memperburuk penyakit kardiovaskular, dan kesehatan pernapasan.

Udara yang lebih jernih juga dapat memberikan pertolongan singkat bagi mereka yang positif viru corona COVID-19, membuatnya lebih mudah untuk bernapas untuk pasien yang berjuang, meskipun para ahli kesehatan mengatakan bahwa paparan polusi selama bertahun-tahun kemungkinan membuat banyak orang lebih rentan terhadap penyakit ini.

"Kerusakan sudah terjadi," kata Sascha Marschang, penjabat sekretaris jenderal Aliansi Kesehatan Masyarakat Eropa dalam sebuah pernyataan, seperti dikutip dari Time. "Bertahun-tahun menghirup udara kotor dari asap lalu lintas dan sumber-sumber lain akan melemahkan kesehatan semua orang yang sekarang terlibat dalam pertarungan hidup atau mati."

Organisasi lingkungan internasional Greenpeace menyebut COVID-19 telah memberi dampak negatif kepada perdagangan dan ekonomi. Namun ada efek positif bagi Bumi karena kegiatan industri tertahan, polusi industri berkurang, dan kualitas lingkungan hidup meningkat.

"Krisis COVID-19 ini telah berimplikasi terhadap perlambatan dalam perdagangan dan kegiatan ekonomi secara global, seperti yang disaksikan di China, Amerika dan beberapa negara kota di Eropa," ujar Forest Campaigner Team Leader dari Greenpeace Indonesia, Arie Rompas yang dilansir dari Liputan6.com, Kamis (2/4/2020). 

Meningkatnya kualitas lingkungan setelah aktivitas industri terhenti akibat lockdown, turut membuktikan bahwa manusia dan ekonomi punya andil dalam penyebaran polusi.

"Polusi udara yang hilang, sungai-sungai yang menjadi bersih, adalah bukti bahwa kerusakan lingkungan berasal dari aktivitas ekonomi manusia," lanjut Arie. 

Bagaimana dengan di Indonesia?

Greenpeace menyebut Indonesia belum mengalami hal serupa. Indonesia juga tidak menerapkan lockdownhanya pembatasan sosial.

Selain itu, Greenpeace memantau masih ada perusahaan yang melakukan pembukaan lahan hutan di Kalimantan dan Papua. Kebijakan pembatasan sosial pemerintah juga dinilai belum memberi efek pada lingkungan. 

"Status pembatasan sosial skala luas yang baru saja di umumkan oleh pemeritah belum maskimal karena beberapa perusahaan masih terus melakukan aktivitas dan kami prihatin bahwa perusahaan ini masih terus mendapatkan keuntungan dari situasi krisis ini," jelas Arie. 

Masalah perlindungan hutan menjadi fokus serius Greenpeace, sebab ada keterkaitan antara kerusakan hutan dan penyebaran virus zoonosis. Virus Corona yang sedang mewabah termasuk kategori tersebut. 

Sementara, hutan di Indonesia terus ditebang akibat berbagai industri seperti kelapa sawit dan kayu pulp. Pemerintah diminta menyadari ada koneksi antara kesehatan manusia dan lingkungan hidup.

Perlindungan hutan ini diharapkan dilakukan bersamaan dengan memberantas COVID-19 agar membantu generasi selanjutnya agar terhindar dari penyakit-penyakit baru. "Penghancuran keanekaragaman hayati dan habitat alami menciptakan kondisi untuk virus dan penyakit baru seperti COVID-19," ucap Arie.

"Kesehatan masyarakat dan kesehatan planet berhubungan erat dan harus ditangani bersama. Kita perlu melindungi hutan dan keanekaragaman hayati dunia karena kehidupan kita," pungkasnya.

Khusus di Jakarta, kebijakan kerja dari rumah atau work from home (WFH) selama pandemi COVID-19, serta curah hujan intens, telah memperbaiki kualitas udara Ibu Kota. "Hujan yang turun di Jabodetabek juga turut membantu tercucinya atmosfer dari polusi," kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Andono Warih.

Berdasarkan pemantauan di lima Stasiun Pemantauan Kualitas Udara (SPKU) yang dikelola Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, hasilnya menunjukkan perbaikan kualitas udara, terutama menurunnya kosentrasi parameter PM 2.5 selama penerapan WFH. Namun, WFH bukanlah faktor tunggal untuk memperbaiki kualitas udara Jakarta. 

"Penurunan ini juga konsisten dengan tingkat curah hujan. Ketika curah hujan tinggi, konsentrasi parameter PM 2.5 menunjukkan penurunan dan ketika hari-hari tidak hujan, konsentrasi parameter PM 2.5 sedikit meningkat," kata dia.

Selain itu, arah angin juga berpengaruh terhadap polutan jenis PM 2.5 ini atau partikel debu halus berukuran 25 mikrogram/m³. 

Pantauan Air Quality Index (AQI) AirVisual pada 2 April pukul 20.25 WIB menunjukkan, Jakarta berada pada urutan ke-33 dari urutan kota-kota berpolusi tinggi, yang artinya kualitas udara Jakarta lebih baik dari 32 kota lainnya di dunia, dengan Air Quality Index (AQI) di angka 64.