Pergiliran Kepemimpinan Nasional Sipil-Militer

SHARE

Setidak-tidaknya Presiden Jokowi telah memberikan gambaran terang, menjawab kegalauan publik tentang spesifikasi, kriteria-kriteria otentisitas siapa yang cocok, layak, dan punya kepatutan kepemimpinan nasional pada perhelatan politik Pilpres tahun 2024 m


Saling Menegasikan

Bila kita tilik dari sejarah perjalanan Kepemiluan kita, dari sekian kalinya hingga kini telah menyelenggarakan 12 kali Pemilu. Perkembangannya belum ada yang baru, terkecuali bongkar-pasang mekanisme, prosedur, merombak berkali-kali aturan main, hanya itu memang kita akui.
 
Tampaknya perjalanan transisi sejarah kepemimpinan nasional dari masa ke masa yang bangsa tempuh. Belum mampu memberikan capaian pembangunan nasional fundamental. Dalam trisakti, berdaulat dalam politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan maupun bidang lainnya, belum cukup signifikan. Kenyataan ini haruslah menjadi catatan penting.

Artinya bila dibandingkan dengan sebelum-sebelumnya, Pemilihan Umum Presiden kali ini mestinya merupakan pertanda perkembangan demokrasi. Pada konteks ini, pencarian kepemimpinan nasional tidak bisa lagi sekedar mengandalkan tukar-menukar, tamba-menambal teoritikal sebagai reaksi dari munculnya teori lainnya. Bukan hanya bicara tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kemunculannya. Bagaimana genetiknya, perangai sifat-sifat takdir diwahyukannya? ekologis, hubungan personal, interaksi, dan atau lingkungannya?
 
Namun menggunakan konsep pembaruan demokrasi, yakni prakarsa kepemimpinan nasional yang dipergilirkan “Sipil-Militer dan sebaliknya. Perspektif atau semacam proposal pergiliran pemimpin nasional yang dimaksud, selain untuk memenuhi pertimbang-pertimbangan di atas. Perkembangannya paling tidak terdapat beberapa prinsip-prinsip yang relevan.

Diantaranya secara struktural, tersiapkannya stok sumber daya manusia politik yang benar-benar mumpuni, komitmen menyukseskan kesinambungan pembangunan nasional, punya kapasitas, kapabilitas dan integritas. Tetapi juga terwujudnya kultur politik yang mendatangkan keadilan bagi antropologi politik. Baik atas nama latar belakang, basisnya etnis, wilayah, dan terutama predikat antara militer-sipil.

Pada dimensi pergiliran jatah ini, agenda masa depan yang menguntungkan negara dan masyarakat luas. Pemilu yang akan mencerminkan tatanan, keadaban politik, demokrasi berkeadilan. Yakni saling memberikan kesempatan pada lapisan-lapisan masyarakat meskipun dia hanya jelata, bukan bangsawan politik, tak punya darah biru, atau bukan elite yang memiliki kemampuan finansial. Sehingga juga kehendak demokrasi Pancasila bisa berjalan sempurna, tidak lagi antitesa-antitesis, konflik-konflik politis yang tajam.

Jadi tidak perlu mengkhawatirkan kandidat sipil laku kurang cakap, siap-siap mengubur, atau mereduksi harapan hak politiknya. Sebab bukankah ada semboyan demokrasi kedaulatan politik ‘dari rakyat untuk rakyat’?
 
Ada seloroh, anomali sistem Pemilu saat ini yang non Jawa harus tahu diri bersabar, atau tidak nekat. Mending membatalkan saja ambisinya lantaran antropologi politik kita, faktualitas basisnya etnis, dan jawa adalah antropologi besar.
 
Untuk itu persenyawaan yang menstimulasi jalan proposal ini, adalah mengadopsi ide pembaharuan yang berporos pada negasi ke negasi bukan antagonistik. Karena keduanya mempunyai plus dan minus yang saling menegasikan. Terutama, menghentikan dikotomis kepemimpinan antara militer dan sipil, fobia yang dituai oleh orde baru.

Selain paling tidak menjawab yang disyaratkan “kuat, berani dan bernyali”. Figur yang mengantongi satu-satunya hanya dimiliki tentara yang predikat berpendidikannya ketat, disiplin dan plusnya visible.

Pemimpin negara kedepan variabelnya berlapis-lapis tidak hanya jujur bekerja, berbaur merakyat, pintar, dan harus yang berwawasan militer agar tahu geostrategi dalam menghadapi segala kemungkinan tensi global, dan potensi perang akibat terus meningkat akibat perseteruan kawasan bangsa-bangsa dunia.

Berdasarkan kondisi objektif pembangunan yang dicapai bangsa saat ini, baik pengentasan kemiskinan, kesehatan, pendidikan, dan memproyeksi tantangan. Dibutuhkan keamanan dan ketertiban, menjamin stabilitas atau kestabilan politik demi membangun pertumbuhan ekonomi.
 
Ancaman disintegrasi bangsa akibat radikalisme acap kali muncul. Situasi yang butuh kepemimpinan militer untuk menopang sistem pemerintah yang kuat, efisien, dan efektif. Kepemimpinan militer yang patriotik dapat mempertahankan kemerdekaan, merah putih sampai darah yang penghabisan.

Pada intinya ide pembaruan demokrasi melalui kepemimpinan nasional dipergilirkan, mempercepat reformasi pembangunan demokrasi yang khas nasionalis. Konsep menata dinamika politik Pemilu yang hendak diarahkan pada nilai-nilai.

Terlebih lagi, rakyat tidak perlu ingatannya ditarik mundur menebak-nebak alasan lobi-lobi politik koalisi besar-kecil, risau dengan alasan-alasan yang sangat teknis skenario yang menduetkan siap dengan siapa.
 
Terbawa arus dengan kasak-kusuk ‘demi menuntaskan hutang perjanjian yang sempat tertunda’. Tidak lagi mengharapkan kebaikan partai politik tertentu yang mau ‘mengalah’. Bukan pula akibat peristiwa sindrom elektabilitas yang rentan berdinamika naik-turun dan berpeluang patah.
 
Yang jelas prakarsa tidak mengubah hal yang mendasar, melenceng dari pakem dan filosofis. Tancapan tradisi pergiliran kepemimpinan paling bisa dibuktikan contohnya, misalkan alasan Jokowi memilih jabatan panglima dengan apa yang ia sebut “rotasi matra” untuk memberikan keadilan bagi semua matra di tubuh TNI.
 
Tetapi ingat, bukan berarti kepemimpinan militer bermetamorfosis menciptakan imperium baru, orde-orderan atau rezim-rezim, dimana diktator militer terhadap supremasi sipil. Dominasi, monopoli, memegang wewenang tunggal, sewenang-weang otoritarian, atau yang serupa dengan tradisi kekuasaan primitif monarki-oligarki, berkuasa absolute.

Militer dan sipil memilih menjalin mitra strategis menjalankan pembangunan nasional. Tidak ada mustahil, lagi pula tidak ada perubahan yang kualitatif tanpa konsep yang progresif.

Halaman : 1