Permukiman Kumuh Masih Menjadi Salah Satu Persoalan Pemprov DKI Jakarta

SHARE

istimewa


CARAPANDANG.COM- Permukiman kumuh masih menjadi salah satu persoalan yang segera diselesaikan  Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

 "Melihat laporan Kementerian PUPR, 267 kelurahan di DKI, 118 kelurahan diantaranya atau 45 persen masih memiliki permukiman kumuh. Jadi kondisi seperti itu harus dilakukan perbaikan," ujar pengamat tata kota Nirwono Joga, Rabu.

Mengutip salah satu isi dari pasal 1 ayat 1, BAB I Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011, perumahan dan kawasan permukiman adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh.

Nirwono mengatakan program pemerintah DKI harus sesuai dengan aturan tata ruang tersebut.

"Solusinya, ada yang disebut dengan penataan bangunan sesuai peruntukannya," kata dia.

Menurut Nirwono, hunian dapat diperbaiki agar memenuhi syarat layak huni. Untuk permukiman yang masuk dalam kategori kumuh sedang, dapat dilakukan peremajaan kawasan. Misalnya perbaikan jalan saluran air dan limbah sampah.

Namun jika tidak sesuai dengan peruntukan tata ruang, dapat dilakukan relokasi, dengan alasan permukiman tersebut rawan bencana, mulai dari banjir, kebakaran hingga gempa.

"Relokasi juga harus dilakukan dengan aturan. Pemprov harus secara tegas memutuskan status permukiman. Kemudian, menentukan tempat relokasi, kapan dan bagaimana proses pemindahannya," ujar Nirwono.

Tanpa memikirkan masalah permukiman kumuh, "Wajah Baru Jakarta," yang menjadi tema HUT ke-492 DKI, menurut Nirwono, hanya sekedar pencitraan.

Nirwono juga mengatakan Pemprov DKI juga harus mengalokasikan anggaran supaya pembangunan "Wajah Baru Jakarta" tersebut sesuai dengan aturan.

"Jangan sampai Jakarta dimaknai sekedar Sudirman rasa Singapura, sementara Utara rasa Bangladesh," kata Nirwono.

Belum lagi, kata Nirwono, soal PKL yang dibolehkan berjualan di trotoar serta waduk Pluit, yang menurut dia, saat ini tidak terpelihara baik.

"Kalau tidak, justru 'Wajah Baru Jakarta' menjadi kontradiktif. Membaca wajah baru jadi kebalikan sebelumnya, yang sungai bersih, sekarang justru sebaliknya, wajah kesemrawutan," ujar Nirwono.