Tugas Pers Bukanlah Menjilat Penguasa

SHARE

Istimewa (Net)


"Kita harus tetap melanjutkan tradisi pers yang taat konstitusi dan kode etik meski tantangan amat besar, " kata Ketua Umum PWI Margiono suatu hari dalam sebuah diskusi. Tidak lama setelah dia terpilih menjadi Ketua Umum PWI Pusat priode kedua (2013-2018). Dalam diskusi itu saya memaparkan data jumlah masyarakat yang terhubung internet. Waktu itu sekitar 150 juta. Data terbaru 200 juta.

Masyarakat  kini selektif membaca berita hanya yang disukai meski belum tentu  dibutuhkan. Mereka  menyukai berita sensasional, yang lebih banyak tidak mematuhi kode etik jurnalistik. Sebagian lagi dari mereka mengambil alih pekerjaan wartawan dengan  membuat berita sendiri  dan menyebarkannya di media sosial.  Jelas, tidak  semua memenuhi standar berita sesuai kaidah jurnalisme. Berita seperti itu pasti merugikan publik.

Margiono, yang juga anggota Dewan Pers memandang fenomena tersebut justru sebagai momen bagi wartawan mengembalikan marwah pers. Wartawan harus semakin meningkatkan fungsi kontrol termasuk melindungi publik dari pengaruh buruk media sosial dengab mentaati  aturan dan kode etik. 

"Itu faktor pembeda dan  menjadi selling pointnya, " kata pemilik grup media "Rakyat Merdeka" itu.  Margiono wafat 1 Februari lalu. Niscaya almarhum akan tersenyum di alam sana kalau saja menyaksikan kekompakan  pers saat ini menghadapi ulah sebagian elit politik yang merongrong konstitusi negara demi melanggengkan kekuasaan.

Memaksakan kehendak untuk menunda Pemilu 2024 atau memperpanjang masa jabatan Presiden RI dengan berbagai alasan yang mengada ada. Dua pekan ini saya mengikuti isi pemberitaan hampir semua media menyoal itu. Clarity moral, atau kejernihan moral pers sebagai pilar keempat  demokrasi  mendominasi pemberitaan media hari-hari ini.

Clarity moral bisa juga diterjemahkan dalam bahasa Jawa  : “Ngono Yo Ngono Ning Ojo Ngono”. Dalam ungkapan orang Makassar : "Manna pelleng puna tallewaki” ( biarpun film tak bisa dibiarkan kalau kelewatan. Sebebas-bebas Pers Amerika, jika menghadapi ancaman terhadap konstitusi mereka juga akan bangkit dan bersatu melawannya.

Saya sempat menyinggung nilai "clarity moral" itu dalam diskusi Forum Pemred (forum pemimpin redaksi Indonesia) Rabu (2/3) malam. Alhamdulillah. Sudah berlangsung dua pekan hingga kemarin, sebagian media sudah berhasil mengidentifikasi kegaduhan politik terkait  isu penundaan Pemilu 2024. Ternyata  bersumber dari tokoh tokoh elit politik yang selama ini kita beri kepercayaan. Saya sependapat dengan banyak kawan untuk segera mengucilkan pelaku dari ruang demokrasi. Mereka seperti  ikan yang busuknya bersumber dari kepalanya sendiri.  

"Pers itu berada di garis lurus. Pemerintah yang bengkok akan berbenturan dengan pers", kata  tokoh pers legendaris Indonesia, almarhum BM Diah, pendiri Koran Nasional Harian Merdeka.

Halaman : 1