Manakala Media Massa Makin Menyerupai Medsos

SHARE

Ilustrasi | Istimewa


Seperti dua sisi mata uang, medsos, selain memiliki sisi positif, juga menonjol dalam banyak hal negatif. Karena medsos adalah media padat penduduk, maka ciri yang paling menonjol adalah gaduh. Bila kegaduhan timbul karena memperdebatkan suatu isu penting, tidak masalah dan itu sehat. Tetapi jika keributan yang terjadi oleh karena masalah remeh, sungguh itu menimbulkan kegemasan tersendiri. Bahkan, boleh jadi separuh lebih energi warga masyarakat terkuras di jagat medsos karena terlibat dalam perang komentar atau larut mengikuti hal-hal yang viral.

Begitulah warna dan keunikan dunia lain yang kita sebut sebagai media sosial. Meski di sana terhampar banyak konten “sampah” yang tidak berfaedah, tapi mengingat kemajemukan para penghuninya, kadang menjadi alasan pemaaf untuk memakluminya. Meski Undang-undang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) yang terbit pada 2008 dan kemudian direvisi pada 2016 telah menjadi rambu-rambu untuk sejumlah pelanggaran dan kejahatan di medsos, seperti pencemaran nama baik, berita bohong, ujaran kebencian hingga teror online, tapi tidak serta-merta kehidupan di sana otomatis tertib dan damai.

Sementara media massa yang semestinya menjadi panutan karena diawaki oleh para profesional yang kompeten dan berlisensi, sejak (setidaknya) satu dekade terakhir, malah tergoda oleh keriuhan yang terjadi di dunia berbeda, medsos. Media arus utama yang mungkin mulai merasa kesepian karena ditinggalkan para pembaca, pendengar, atau penonton berusaha mengejar keberadaan mereka di media sosial. Tak ayal, sekarang menjadi lazim konten berita disuguhkan di platform media sosial. Formatnya pun dikemas sesuai karakter medsos yang menjadi ladang rilisnya. Singkatnya, bukan hanya “numpang” siar di mimbar media sosial, media massa kini juga rela kehilangan karakternya demi menyesuaikan dengan tuan rumah.

Padahal realitanya, media massa memiliki bangunan rumah sendiri yang lebih kokoh dan tentunya dibangun dengan jerih payah, karena mendirikan media harus melewati proses panjang, salah satunya perizinan, selain modal besar, baik di awal pendirian maupun operasional selanjutnya.

Namun nyatanya, media massa malah membuat akun-akun medsos demi menjangkau audiens yang berada di sana. Sementara keberadaan media sendiri dipertahankan sebagai bukti eksistensi (saja).

Halaman : 1