Jangan Asal Kritik

SHARE

Edy Mulyadi


Apa yang penulis sampaikan, disambut dengan gelak tawa, tidak ada ekspresi kemarahan sedikit pun-  apalagi sampai membawanya ke jalur hukum karena dianggap menyampaikan ujaran kebencian.  Tapi, apa yang penulis sampaikan dianggap hanya sekadar  guyonan. Dan jika dianggap sebagai kritik, ini merupakan kritik yang membangun, bukan dianggap sebagai  hinaan. Sehingga saat mendengar kalimat tersebut tidak merasa terusik maupun tersinggung. Setelah menyampaikan hal itu  persahabatan tetap terbangun sampai saat ini. Tidak ada perasaan saling membenci.

Kembali ke kasus Edy, bisa jadi  apa yang dia sampaikan tidak ada niat sedikitpun untuk menghina kelompok tertentu, khususnya masyarakat Kalimantan. Mungkin Edy  hanya ingin memberikan  gambaran bahwa lokasi ibu kota negara baru itu  sangat jauh dan sepi.

Dan dia berusaha mempertanyaan, mengapa ibu kota negara  pindah ke tempat yang jauh dan sepi, padahal DKI Jakarta masih menjadi tempat yang layak untuk tetap menjadi Ibu Kota Negara. Sehingga ini menimbulkan kecurigaan- terlebih pemindahan ibu kota negara ini terkesan buru-buru dan tidak mempertimbangkan masukan dari berbagai ahli, misalnya terkait dampak kerusakan hutan di wilayah IKN  baru. Seperti kita ketahui bahwa pulau Kalimantan dikenal sebagai paru-parunya dunia.

Dengan adanya pembangunan IKN maka akan berdampak pada kerusakan hutan di sana. Dan tidak menutup kemungkinan wilayah IKN baru itu juga  tidak bebas dari banjir. Padahal, salah satu alasan  pindah ibu kota negara karena wilayah DKI Jakarta menjadi langganan banjir.

Pesan kritik yang hilang

Penulis mencermati betul apa yang disampaikan Edy Mulyadi.  Apa yang disampaikan Edy  merupakan bentuk kritik kepada pemerintah atas pemindahan Ibu Kota Negara  ke Kalimantan Timur.  Namun,  sangat disayangkan, pesan penting dalam kritik tersebut hilang begitu saja dan seolah tidak memiliki arti apa-apa,  karena ketidakhatian Edy dalam memilih diksi saat berkomunikasi menyampaikan kritiknya. Kalimat “Tempat jin buang anak” seolah –oleh menjadi senjata makan tuan.

Baginya kalimat tersebut biasa disampaikan dalam komunikasi sehari-hari. Namun, dia lupa, siapa yang sedang dia kritik, yakni pemerintah yang memiliki kekuasaan. Maka itu, sangat diperlukan kecermatan dalam memilih kata-kata. Sekecil apapun keselahan akan dijadikan celah untuk menyerang.

Halaman : 1